fbpx

SANDAL SAMIN, SANDAL KHAS BLORA YANG KAYA MAKNA

Sandal Samin karya Heri Dwisusanto, pengrajin sandal asal Desa Tempellemahbang Kecamatan Jepon.

Jepon – Berbusana adat Samin, tak akan lengkap jika tidak mengenakan sandal samin. Sandal Samin merupakan hasil karya Heri Dwisusanto, pengrajin sandal di Desa Tempellemahbang RT 04 RW 02 Kecamatan Jepon.

Menurut Heri, Sandal Samin selain nyaman dipakai, juga memiliki makna yang mendalam tentang ajaran moral samin. Konon, sebelum membuat sandal tersebut, ayah dari Nur Tahni’ah Indah Hestiningsih dan Silma Badriatul Fu’ad ini, meminta restu kepada sesepuh samin sikep Blora, Mbah Lasiyo.

 

Sandal Samin karya Heri Dwisusanto, pengrajin sandal asal Desa Tempellemahbang Kecamatan Jepon.

 

“Saya memulai usaha pembuatan sandal sejak tahun 2014 yang lalu. Kemudian, pada 2016 muncul ide pembuatan sandal samin. Jadi, karena sudah ada bermacam asesoris samin mulai dari ikat kepala sampai celana, sandal samin ini akan melengkapi identitas samin,” paparnya, Sabtu (01/09).

Untuk memulai pembuatan sandal samin, Heri lantas berkunjung ke kediaman sesepuh samin sikep Blora, Mbah Lasiyo, di Dukuh Karangpace, Desa Klopoduwur Kecamatan Banjarejo. Setelah kunjungan tersebut, rancangan sandal samin pun dibuatnya.

“Setiap bagian dari sandal samin mengandung makna ajaran samin. Mulai dari tali yang bermakna ikatan persatuan dan kesatuan, hingga penampang bagian atas sandal yang berbentuk runcing ke depan. Itu bermakna landhep ing pikir (pemikiran yang tajam –red),” paparnya.

Tak ayal, hasil karyanya pun diapresiasi banyak pihak. Dalam setiap pameran yang diikutinya, Sandal Samin banyak diminati pengunjung. Bahkan, banyak pejabat di Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Blora yang mengenakan sandal khas Blora ini.

“Banyak pejabat di dari Pemkab yang memakai sandal samin. Bahkan, Pak Ganjar pun pesan sandal ini, melalui utusannya,” ujarnya Bangga.

Untuk bisa mendapatkan sandal samin, peminat dapat memesan melalui toko online, atau berkunjung langsung ke rumahnya di Desa Tempellemahbang Kecamatan Jepon.

“Harganya bervariasi, untuk yang bahan imitasi, harganya Rp. 80 ribu. Untuk bahan kulit hanya Rp. 150 ribu,” pungkas Heri.

 

Reporter : Natanael Sulistiyono