fbpx

SATU ABAD WAFATNYA BAPAK PERS NASIONAL, TIRTO ADHI SOERJO

SATU ABAD WAFATNYA BAPAK PERS NASIONAL, TIRTO ADHI SOERJO
Pusara Tirto Adhi Soerjo di TPU Belender, Tanah Sereal, Bogor. Foto : Merdeka.com

Blora- Tak banyak yang menyadari, hari ini adalah tepat satu abad wafatnya Bapak Pers Nasional kelahiran Blora, Tirto Adhi Soerjo. Pahlawan nasional bergelar Raden Mas ini wafat pada 7 Desember 1918 dalam usia 38 tahun.

Tirto, yang oleh Pramoedya dijuluki Sang Pemula ini, merupakan perintis pers nasional. Gaya jurnalistik Tirto yang menggebrak, segera menyadarkan para bumiputra tentang kejamnya kolonialisme sehingga menjadi inspirasi bagi jurnalis setelahnya, seperti Marco Kartodikromo dari Cepu.

 

SATU ABAD WAFATNYA BAPAK PERS NASIONAL, TIRTO ADHI SOERJO
Pusara Tirto Adhi Soerjo di TPU Belender, Tanah Sereal, Bogor. Foto : Merdeka.com

 

“Tuan T.A.S. adalah induk jurnalis bumiputera di ini tanah Jawa. Tajam sekali beliau punya pena. Banyak pembesar yang kena kritiknya jadi muntah darah dan sebagian besar memperbaiki kelakuannya yang kurang senonoh,” tulis Marco dalam artikel “Mangkat” pada surat kabar Djawi Hisworo di tahun 1918.


Bangsawan Yang Tak Lulus Kuliah

Tirto lahir di Blora, tahun 1880 dengan nama Raden Mas Djokomono. Setelah beranjak dewasa, putra Raden Ngabehi Hadji Moehammad Chan Tirtodhipoero ini lebih dikenal dengan nama Tirto Adhi Soerjo.

Darah bangsawan mengalir dalam tubuhnya. Kakeknya, R.M.T. Tirtonoto, menjabat Bupati Bojonegoro dan penerima Ridder Nederlandsche Leeuw, bintang tertinggi sipil dari Kerajaan Belanda. Sedangkan dari pihak nenek, ia mewarisi darah Mangkunegara I alias Pangeran Sambernyawa dari Surakarta.

Setelah menuntaskan pendidikan dasar di Rembang, Djokomono alias Tirto Adhi Soerjo merantau ke Betawi untuk melanjutkan sekolah di Hogere Burger School (HBS). Lulus HBS, ia diterima di sekolah dokter bumiputra, yakni School tot Opleiding van Inlandsche Artshen (STOVIA), di Batavia.

Hanya saja, Tirto tak sempat menamatkan sekolah dokternya lantaran jatuh cinta dengan dunia tulis-menulis. Tirto mulai menulis sejak awal masuk STOVIA dengan mengirimkan tulisan ke berbagai surat kabar terkemuka saat itu.

Tulisan Tirto Bikin Pejabat Kolonial “Muntah Darah”

Tanggal 7 Februari 1903, Tirto mendirikan koran pertama Indonesia yang dimodali dan diisi tenaga-tenaga bumiputra sendiri,Soenda Berita. Sebagai strategi untuk menyadarkan pembaca dari kalangan rakyat biasa, koran ini mengusung jargon “kepoenjaan kami pribumi”.

Sayangnya, Soenda Berita harus gulung tikar dua tahun kemudian lantaran krisis keuangan. Tirto kemudian meluncurkan Medan Prijaji pada 1 Januari 1907. Setahun kemudian, lahirlah media Soeloeh Keadilan yang juga digawangi olehnya.

Medan Prijaji dan Soeloeh Keadilan menjadikan Tirto sebagai orang Indonesia pertama yang menyuluh rasa kesadaran berbangsa bumiputra melalui kuasa media. Dalam konteks ini, ia memperkenalkan apa yang sekarang disebut sebagai jurnalisme advokasi. Tak jarang, Tirto membela kaum tertindas lewat surat kabarnya.

Medan Prijaji dan Soeloeh Keadilan ibarat kendaraan perang bagi Tirto untuk bertempur di medan jurnalistik. Bahkan sejak era Pembrita Betawi dan Soenda Berita, cukup banyak pejabat yang “muntah darah” lantaran ketajaman penanya.

Bapak Pers Terjerat Delik Pers

Kekuasaan pun mereaksi “ulah” Medan Prijaji dan Soeloeh Keadilan. Tirto terjerat perkara delik pers dan diajukan ke meja hijau. Pada pengujung 1912, ia diputuskan harus menjalani hukuman pengasingan di Maluku.

Sepulang dari pembuangan dan kembali ke Batavia, pengaruhnya sudah melemah, harta dan asetnya ludes disita negara, teman-temannya pun beranjak menjauh.

Sang Pemula Yang Mati Kesepian

Menjelang kematiannya, Tirto mengalami depresi serius. Akhirnya, sang pemula pers bumiputera yang telah berjuang mati-matian demi menyadarkan bangsanya itu menghembuskan nafas terakhir pada 7 Desember 1918, tepat 100 tahun yang lalu.

Jenazahnya hanya diantarkan beberapa orang saja di pemakaman umum Mangga Dua, Jakarta Utara. Tahun 1973, makam ini dibongkar lantaran lokasi tersebut akan didirikan pusat perbelanjaan modern. Akhirnya, jasad Tirto pun dipindahkan di pemakaman umum Belender, Tanah Sereal, Kota Bogor.

(Sumber: Tirto.id, dengan penyesuaian)