fbpx

BELAJAR “SAMIN” DI JOGLO CETHIK GENI

BELAJAR “SAMIN” DI JOGLO CETHIK GENI
Sarasehan Relevansi Ajaran Samin di Era Globalisasi, di Joglo Cethik Geni

Cepu- Cara perlawanan Ki Samin Surosentiko dan pengikutnya dalam melawan pemerintah kolonial Hindia-Belanda dengan cara membangkang telah dikenal luas. Di era globalisasi sekarang ini, pembangkangan Samin tak lagi dilakukan.

“Dulu, kita menolak membayar pajak. Menolak kerja bakti. Kalau ditanya, jawabannya membingungkan. Itu cara perlawanan,” ucap sesepuh sedulur sikep, Pramugi Prawiro Wijoyo di Joglo Cethik Cethik Geni, Kapuan Kecamatan Cepu, Blora, Sabtu (23/02).

Dalam sarasehan bertajuk Relevansi Ajaran Samin di Era Globalisasi tersebut, Pramugi menegaskan, para penganut laku sikep (ajaran Samin, red) sekarang ini tidak lagi melakukan pembangkangan terhadap pemerintah.

 

BELAJAR “SAMIN” DI JOGLO CETHIK GENI
Sarasehan Relevansi Ajaran Samin di Era Globalisasi, di Joglo Cethik Geni

 

“Dulu kita membangkang, karena pemerintahnya orang asing. Lha sekarang sudah merdeka, sudah dipimpin bangsa kita sendiri. Sekarang, kalau bayar pajak kita paling rajin. Untuk kerja bakti, kita yang paling depan,” terang Pramugi.

Sarasehan tersebut diikuti oleh tim Dinas Kepemudaan, Olahraga, Kebudayaan, dan Pariwisata (Disporabudpar) Kabupaten Blora, para mahasiswa dari sejumlah perguruan tinggi, dan sejumlah pegiat budaya dan sejarah Blora.

“Rencananya, diskusi atau sarasehan seperti ini akan kita gelar tiap bulan. Ini merupakan salah satu upaya Cethik Geni untuk menguatkan budaya literasi bagi generasi muda,” ucap Koordinator Cethik Geni, Rita Oktaviana.

Dari Ploso Kediren hingga Sawahlunto Sumatera Barat

Selain Pramugi, sarasehan tersebut juga menghadirkan JFX Hoery, seorang pengkaji sejarah Samin Surosentiko dari Pamarsudi Sastra Jawi Bojonegoro (PSJB). Hoery juga merupakan wartawan majalah berbahasa jawa, Panjebar Semangat.

Dalam kesempatan itu, Hoery memaparkan sejarah perlawanan Ki Samin Surosentiko di Blora dan beberapa daerah lainnya. Diantaranya, Bojonegoro, Rembang, Kudus, Pati, hingga akhirnya pemerintah kolonial membuangnya ke Sawahlunto, Padang, Sumatera Barat.

“Walaupun dibuang ke Sawahlunto, perlawanan terhadap kolonial tidak berhenti. Perjuangan Ki Samin Surosentiko terus dilanjutkan para pengikut dan keturunannya di Blora, Bojonegoro dan kota-kota lainnya,” terang Hoery.

Selama paparan, alunan siter yang dimainkan Dhika SW (seniman dan pemuda pelopor desa budaya) memanjakan telinga peserta sarasehan. Sebelumnya, peserta juga dihibur dengan penampilan Barongan anak dan sejumlah tari-tarian. (jir)