fbpx
OPINI  

BLORA DALAM BABAD KARTASURA

Ilustrasi
Iluatrasi

Sudah menjadi kebiasaan bahwa kemelut atau peristiwa besar kerajaan Jawa kemudian diceritakan oleh pujangga istana menjadi sebuah Babad. Adalah Babad Kartasura, dapat dianggap sebagai salah satu naskah tua yang bercerita tentang kronologi Perang Tahta Jawa.

 

Ilustrasi
Iluatrasi

 

Kartasura sendiri merupakan pusat istana Mataram setelah Plered. Dampak serius dari serangan Trunajaya pada Plered, menjadikan Susuhunan Amangkurat II memindahkan istana menuju tempat bernama desa Wanakerta dan memberi nama istana baru itu dengan nama Kartasura Hadiningrat (tahun 1680). Namun, Sunan Ngalaga (Adik Amangkurat II) bertahan di Plered untuk menolak bergabung dengan Amangkurat II. Perseteruan terjadi, di tahun 1681, Sunan Ngalaga menyerah, mengakui kedaulatan kakaknya dan kembali ke gelar lamanya; Pangeran Puger. 

Pada tahun 1703 Amangkurat II mangkat, digantikan putranya bernama Raden Mas Sutikno (Amangkurat Mas / Amangkurat III). Walau sudah tersingkir dari istana, Pangeran Puger tampaknya mendapat banyak dukungan dari keluarga keraton. Akhirnya pada 1704, Amangkurat III mengirim pasukan untuk membunuh Pangeran Puger. Tetapi, dibantu tukang sapu rumput (yang sebenarnya mata-mata) bernama Cakrajaya (Danureja), Pangeran Puger bergegas melarikan diri menuju Semarang, meminta bantuan kepada Kompeni, untuk menjadi seorang raja Jawa. Oleh Kompeni, permintaan itu disetujui dan tentu dengan bermacam syarat. Satu tahun kemudian (1705), gabungan pasukan Kompeni, pasukan Semarang, Madura Barat dan Surabaya bergerak menyerang Kartasura. Bagaimanapun, atas saran Arya Mataram, Susuhunan Amangkurat III akhirnya terpaksa mengungsi ke Ponorogo dengan membawa pusaka-pusaka kerajaan. Pangeran Puger kemudian berhasil menjadi penguasa Kartasura, bergelar Susuhunan Paku Buwana (I). Sebagai balas jasa kepada Kompeni, Paku Buwana I harus merugi karena wilayah pesisir sekitar Semarang: Demak, Kudus, Blora, Jepara, Pati, Grobogan dan Kendal menjadi milik Kompeni dengan status gadai. Sebelumnya, wilayah Blora diberikan kepada putranya bernama Pangeran Blitar.

Ditengah berkecamuknya Perang Surabaya, Paku Buwana I mangkat, dan Raden Mas Suryanata, putranya menggantikan posisinya sebagai raja (1719). Anehnya, ia tidak mengambil gelar ayahnya (Paku Buwana), tetapi bergelar Amangkurat (IV). Maka, suksesi tahta Jawa terjadi kembali. Perebutan pucuk penguasa Mataram tak bisa dihindari, ini berdampak besar di istana keraton, juga di wilayah-wilayahnya (mancanegari). Dan karena kurang berkenannya banyak keluarga keraton atas penobatan itu, rakyat Jawa kemudian terpecah kepercayaannya, paling tidak menjadi lima kubu, yaitu pihak Amangkurat IV, Pangeran Purbaya, Pangeran Blitar, Arya Dipanegara (ketiganya adalah saudara Sang Sunan sendiri), dan juga Pangeran Arya Mataram (paman Amangkurat IV).

Sementara Pangeran Blitar mencoba mendirikan kota bekas istana Sultan Agung, bernama Karta Sekar dan memproklamirkan dirinya sebagai penguasa dengan gelar Sultan Ibnu Mustafa Paku Buwana, Arya Dipanegara mendeklarasikan diri sebagai penguasa Madiun bergelar Panembahan Herucakra. Disebutkan dalam Babad, Arya Mataram memilih mengungsi dari Kartasura menuju pesisir utara dan memproklamirkan dirinya sebagai penguasa pesisir. Setelah sampai di Santenan (Cengkal Sewu), pasukan Arya Mataram bergerak dan menyerang wilayah Grobogan, Warung, Blora dan Sesela. Dengan kekuatan pasukannya, Arya Mataram berhasil mengusai Grobogan, Warung, dan Sesela. Sementara itu Blora dikuasai oleh Arya Dipanegara (Panembahan Herucakra). 

Hal ini tertulis di Babad Kartasura (Tembang Durma):

107       Duk samana kang jumeneng Garobogan

Arya Mandhalikeki

apan tan kawawa

lajeng nungkul kewala

ing Warung Balora sami

myang ing Sesela

pan sami den irupi.

108       Ing Balora kang samya amapag yuda

dene wus nungkul sami

marang Panembahan

Herucakra gustinya

dadya wong mancanagari

bahak-binahak

yata ingucap malih.

Pemberontakan segera mendapat penanganan Sunan Kartasura, tetapi tetap saja dengan bantuan Kompeni. Arya Mataram menyerah dan dihukum mati di Japara (1720). Pangeran Blitar meninggal di dekat Kediri karena penyakit (1721), perjuangannya dilanjutklan adiknya Pangeran Purbaya. Tetapi, di tahun 1723 Pangeran Purbaya dan Panembahan Herucakra menyerah juga. Hukumannnya, pangeran Pubaya dibuang di Batavia dan Panembahan Herucakra harus rela diasingkan ke Ceylon (Sri Lanka).

Tentang penulis: Totok Supriyanto adalah pemerhati budaya

*Opini di atas merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab Bloranews.com