fbpx

BLORA KOTA BALIHO, BUKAN KOTA JATI

Baliho sosialisasi penvegahan covid-19, kanan sebelum di ganti baliho bacabup ( kiri )

BLORANEWS – Julukan kota jati mestinya sampai sekarang masih tersemat di kota Blora. Kota kecil yang berada di tengah hutan, kini habis karena ulah warganya sendiri yang melakukan penjarahan hutan di masa reformasi. Disamping itu keberadaan blandong (pencuri kayu jati) juga sangat merugikan kawasan hutan jati Blora. Pasca reformasi pemerintah kemudian menggalakkan program reboisasi/menanam kembali hutan yang gundul, dengan harapan Blora tidak terjadi krisis hutan yang berdampak pada ketidakseimbangan lingkungan.

Lambat laun program reboisasi tergeser oleh kebutuhan warga, dengan cara membuka lahan pertanian di area hutan. Selain itu warga yang hidup menetap di area hutan, saat ini malah sudah membuat perkampungan dan karena warga terlanjur menetap, oleh pemerintah pusat malah di berikan sertifikat HGB meskipun bukan milik pribadi tapi bisa di wariskan seperti sertifikat pribadi.

Dulu Blora punya pasukan reboisasi untuk mengembalikan hutan yang gundul, namun sungguh diluar nalar, saat ini banyak orang yang mengutamakan menanam baliho di mana-mana demi pencitraan. Apalagi saat ini sudah mulai masuk tahun politik. Foto caleg dari pusat hingga daerah terpampang tiada guna.
Belum lagi ditambah baliho lain, seperti produk makanan, minuman, rokok, dan berbagai macam iklan lainnya.

Coba kita perhatikan secara detail, baliho yang terpampang di pinggir jalan, mengalahkan posisi pohon yang harusnya selalu dipertahankan untuk penghijauan kota. Terkadang pemasang baliho tidak mempertimbangkan pemandangan kota yang semakin memprihatinkan. Karena mengganggu dan tidak ada ijin dari Satpol PP, banyak baliho yang di cabut dan di rubuhkan oleh petugas.

Secara teknis pemasangan baliho dirasa cukup efektif dibanding iklan di media lainnya. Mudah, murah dan tidak membutuhkan waktu lama untuk memperkenalkan sesuatu yang mau di iklankan. Namun jangan harap iklan di baliho akan mendapatkan perhatian lebih oleh masyarakat. Apalagi banyak baliho yang posisinya terkadang tidak pas dan bahkan asal pasang saja. Setelah dipasang tim yang pemasang baliho kemudian memberikan laporan ke bosnya masing-masing dengan mengambil foto yang kemudian di kirim via WA.

Memang terdengar agak lucu jikalau Blora sudah tidak lagi dikenal dengan kota jatinya. Tanah Blora yang cocok ditanami pohon jati, kini oleh warganya malah berlomba-lomba menanam baliho/banner. Baliho yang kita tanam yang berakhir menjadi sampah, justru akan mengalahkan citra Blora sebagai kota jati menjadi kota Baliho.

Sebagai warga Blora kita sudah seharusnya menjaga dan melestarikan kayu jati sebagai varietas unggulan di Nusantara bahkan dunia. Jarang kita temukan tanah yang cocok sebagai media tanam pohon jati. Oleh karena itu citra Blora sebagai kota jati harus di pertahankan. Buang jauh citra Blora sebagai kota baliho dengan cara tidak memasang baliho sembarangan tempat.

Tentang penulis: Siti Lestari adalah mantan ketua PC PMII Kabupaten Blora yang saat ini aktif mengelola Lembaga Pendampingan dan Pemberdayaan (Perempuan) Kinasih. 

*Opini di atas merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab Bloranews.com.