fbpx
OPINI  

BUMD SEBAGAI MESIN PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH

Akses pengelolaan kawasan hutan negara oleh masyarakat setempat lazim disebut Perhutanan Sosial (PS). Pengelolaan hutan di Blora belum beranjak dari Dua persoalan serius yang sudah sejak lama ada. Yaitu kemiskinan masyarakat Desa hutan dan kerusakan sumberdaya hutan.
Tejo Prabowo

Bloranews – Bagaimanakah idealnya sebuah Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dijalankan? Kalau ada yang bilang untuk mendapatkan keuntungan sebanyak mungkin, agar bisa setor ke kas daerah melalui Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah salah besar. Juga Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dibentuk bukan untuk menjadi coorporate rakus guna mendapatkan keuntungan sebanyak mungkin.

BUMN/BUMD Prop/BUMD/BUMDes adalah kepanjangan tangan Negara/Pemprop/Daerah/Desa disektor bisnis, tapi bukankah Negara didirikan semata-mata untuk mensejahterakan rakyatnya? Apakah ada suatu negara didirikan dengan tujuan untuk melakukan bisnis? Bukankah sektor bisnis seharusnya diberikan kepada rakyatnya? Perlu pembaca ketahui, di Amerika Serikat, Jepang, juga seperti Inggris yang dulunya memiliki banyak BUMN dan kemudian sampai sekarang dihilangkan sama sekali, semua bisnis diserahan pada rakyatnya.

Rumit memang, dan pertanyaan berikutnya mengapa Pemerintah Kabupaten (Pemkab) ikut terjun ke bisnis yang berarti Pemkab akan menyaingi rakyatnya sendiri di bidang bisnis? Pertanyaan-pertanyaan itulah yang harus bisa jawab ketika seleksi calon direktur oprasional PT Blora Patra Energi dalam fit and propertest-nya nanti. Tidak cuma memahami penyelenggaraan pemerintah daerah dan managemen perusahaan. Juga harus bisa menjelaskan mengapa Pemkab memiliki BUMD, dan juga harus bisa menjelaskan untuk apa Pemkab memiliki BUMD. Agar gak salah tujuan seperti saudaranya BUMD lain yang buka bisnis apotek, percetakan, perhotelan, atau perbengkelan. Rakyat tentu tidak rela menggaji para pengelola BUMD jika bisnis yang ditekuninya justru menyaingi bisnisnya, apalagi jika para pengelola BUMD tidak bisa menjawab untuk apa bekerja di BUMD, tidak tahu tujuan BUMD, bahkan menjadikan BUMD sebagai lahan obyekan dan sumber kenikmatan pribadi semata.

Harus ada tujuan yang jelas di mana peran BUMD dan akan ke mana? Garis inilah yang menjadi pedoman kerja para pengelola BUMD. Dalam tulisan abah Dahlan Iskan di serial Manufacturing Hope yang ditulis saat masih menjadi mentri BUMN, ada tiga pedoman dalam mengelola BUMN maupun BUMD, diantaranya adalah:

Pertama, BUMD harus bisa dipakai sebagai alat ketahanan Nasional/Daerah, Industri strategis dan bisnis sektor pangan masuk dalam kelompok ini. Saat ini peran BUMD sektor pangan sepertinya belum ada. Sedangkan PT BPE sebagai perusahaan yang bergerak dibidang Minyak dan Gas (Migas), sepertinya pas masuk dikelompok ini, karena saat ini mengelola sumur minyak tua di Ledok dan Semanggi, juga Kerja Sama Oprasional (KSO) Banyubang di lokasi Desa Prantaan. Sedangkan Pekerjaan Rumah (PR) dirut PT BPE yang baru dilantik adalah proses bisnis KSO temetes, pembelian gas dijadikan CNG dilapangan Trembul Ngawen, Participating Interest (PI) blok Alas Dara Kemuning (ADK), rencana pembelian CNG blok ADK dari Pertagas dan PI Randu Gunting entah sudah dikerjakan atau belum PR-nya? Penulis belum tau.

Kedua, BUMD harus bisa berfungsi sebagai engine of growth atau mesin pertumbuhan ekonomi di daerah, apalagi kondisi pasca pandemi seperti saat ini. Proyek-proyek penting yang akan bisa menggerakkan ekonomi secara nyata harus dimasuki BUMD. Swasta lokal tentu tidak mau masuk ke bisnis yang secara hitungan belum bisa memberikan laba secara instan. Dalam skala Nasional? BUMN mengerjakannya sendiri, seperti proyek-proyek pelabuhan, waduk, bandara, jembatan dan jalan tol. Dalam skala Daerah tentu dinas-dinas teknis dan kontraktor lokal yang mengerjakannya.

Sebenarnya PT BPE secara tidak langsung juga sudah masuk dikelompok ini, karena sumur minyak tua Ledok dan Semanggi dalam ampuannya, sudah menjadi engine of growth di Desa Ledok, meskipun kecil. Setidaknya untuk beberapa kepala keluarga di Ledok yang menjalani profesi sebagai penambang sumur minyak tua, tercatat rata-rata produksi tiap harinya ada delapan tangki kapasitas 5.000 liter. Sedangkan yang disemanggi dari 130-an lebih sumur minyak tua-nya sudah habis masa produksinya, sehari tidak lebih dari satu tangki. Dari sumber pendapatan bisnis itulah PT BPE mampu setor keutungan ke PAD 300-an jutaan pertahun, berikut menggaji karyawan sekantornya yang bisa dua atau tiga kali lipat setoran PAD-nya. Itu terhitung saat nilai ongkos angkat angkutnya di Depo Menggung Cepu sebesar Rp4.000 an lebih sedikit, dan sekarang ongkos angkat angkut-nya sudah lama naik menjadi Rp7.000 an lebih sedikit? Kenapa setor PAD-nya tetap Rp 300-an juta/tahun? Mungkin saja biaya oprasional kantornya membengkak, jangan-jangan ketambahan direktur oprasional baru nanti tambah bengkak sehingga setor PAD-nya jadi berkurang? Ah sudahlah, kita jangan membahas hal gituan.

Apresiasi setinggi-tingginya buat penambang sumur minyak tua ledok yang bagi saya adalah pahlawan PAD meski mereka sendiri belum sejahtera, apakah PR-nya sudah selesai? Mampukah menjadi engine of growth yang lebih besar lagi? Berikut sektor bisnis lain yang mampu menjadi mesin pertumbuhan ekonomi daerah? Mengingat keterbatasan panjang tulisan akan dibahas ditulisan berikutnya. (Bersambung). 

Blora, 7 September 2022

Tentang penulis: Tejo Prabowo merupakan Ketua LSM Jatibumi Blora. 

*Opini di atas merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi tanggung jawab Bloranews.com