fbpx
OPINI  

CERITA DARI BLORA UNTUK MBAH MUN

Kekerabatan ala Santri

Sungguh, masih terpahat dalam ingatan saya, kala itu, saat saya masih kecil bersama Abah saya kerap bertandang ke Pesantren Al Anwar, Sarang tempat dimana Mbah Mun,–begitu sapaan sohor untuk KH Maimun Zubeir–bermukim dan mengajar para santri.

Demikian pula, terkenang saat-saat Mbah Mun sering mampir ke rumah sederhana saya berbentuk limas khas Jawa di Blora menemui Abah saya. Abah saya KH Ihsan Fadhil memang akrab dengan Mbah Mun.

Usia Mbah Mun lebih muda dari Abah saya. Mbah Mun saat itu sudah dikenal diseantero daerah-daerah sebagai kyai kharismatis dan juru dakwah yang piawai. Mbah Mun juga sering diundang ‘ngisi pengajian’ di desa-desa sekitar Blora.

Sementara Abah saya hanya seorang ‘kyai kampung’ yang ngajar ngaji masyarakat sekitar dan kadang dakwah lewat pengajian di desa-desa. Kedekatan Abah saya dengan Mbah Mun juga direkati dalam jejaring NU.

Mbah Mun menjadi tokoh di jajaran NU, sedang Abah saya ‘hanya ‘ sebagai Rois Syuriah PCNU Blora. Yah, ini keberuntungan buat saya, semenjak kecil saya sudah dihadapkan dengan teladan sosok-sosok yang bergulat dalam ‘kerja peradaban’ lewat keaktifan mengajar ke masyarakat, walau sekecil apapun.

Kedekatan keluarga saya dengan Mbah Mun terasa semakin membentuk seperti dalam terma antropologi, yaitu kekerabatan (kinship). Anak keturunan Abah saya yang tinggal di sebuah kecamatan di Bangilan, Tuban, Jatim secara lebih intensif membangun hubungan makin karib.

Anak-anak mereka seperti berhukum ‘wajib’ nyantri di pesantren Al-Anwar, Sarang. Saya sendiri yang ‘nyebrang’ tidak nyantri di Mbah Mun, tapi di Jawa Timur dan Yogyakarta. Untuk urusan perjodohan, juga teranyam sedemikian rupa.

Ada keponakan saya, yang anaknya dijodohkan dengan ‘sopir’-nya Mbah Mun. Ada juga, anaknya keponakan saya yang dipinang oleh putra Mbah Mun, yaitu Gus Kamil dan kini memiliki 7 anak. Keponakan saya sendiri menikah dengan seorang ‘Gus’ dari pesantren di Tegal yang lulusan pesantrennya Mbah Mun.

Di Blora khususnya dilingkungan masyarakat santri, posisi kyai cukup menjadi tumpuan dalam banyak hal. Bukan hanya terpaku soal agama, tetapi juga tetek bengek urusan ‘keduniawiaan’. Ada cerita nyata, pernah seorang santri dari Blora yang silaturahmi ke Mbah Mun hanya untuk menanyakan mana yang lebih baik beli vespa atau motor yamaha.

Mbah Mun pun kabarnya menjawab dengan terkekeh tapi tetap memberikan nasehat. Pokoknya banyak cerita santri Blora yang permintaannya lucu-lucu saat sowan ke Mbah Mun. Dan ajibnya, Mbah Mun menindaki segala keluhan dan urusan masyarakat yang datang dengan penuh kearifan dan kelembutan.

Apa yang lalu disampaikan Mbah Mun adalah qaulan layyinan (ucapan yang lembut) dan akhirnya bagi masyarakat, apa yang diucapkan Mbah Mun begitu menyentuh, tumus menuju hati yang terdalam (qaulan balighon). Ya, Mbah Mun sebagai personifikasi begawan yang mampu berdiri di segala penjuru dengan mutiara manikamnya.

Posisi kyai sebagaimana pernah ditulis oleh antropolog Clifford Geertz (2014) sebagai cultural broker. Kyai menyambungkan budaya dengan keagamaan dan itu dijelaskan dengan renyah sesuai kadar pemahaman masyarakat.

Sehingga tidak terjadi ‘benturan’ antara budaya dan ajaran agama. Dalam ungkapan M.C. Ricklefs (2013), ketika terjadi ketegangan santri-abangan yang  meruncing, namun posisi kiai tetap mendapat penghormatan yang tinggi dalam masyarakat pedesaan Jawa.

Fakta ini bertolak belakang dengan kondisi saat ini dimana tumbuhkembang para pendakwah yang langsung menggampar adat istiadat masyarakat. Tudingan bid’ah, khurofat dan takhayul diberondongkan kembali.

Akibatnya, tak sedikit terjadi konflik, seorang ustadz diusir dan dilarang berceramah di suatu daerah. Bahkan pula terjadi bentrokan fisik antara masyarakat dengan komunitas puritan.

Bukan hanya soal pertalian berkontur kekerabatan seperti itu saja yang mendekatkan keluarga saya dengan Mbah Mun. Urusan politik juga ikut-ikutan begitu melekat karena sosok Mbah Mun. Mbah Mun sedari dulu aktif di PPP. Hingga akhir hayat beliau di tahun 2019, beliau masih tercatat sebagai Ketua Majelis Syariah PPP.

Keluarga saya yang di Bangilan tersebut tak pernah goyah dan tetap memilih PPP, kendati setelah era reformasi muncul banyak partai yang juga lahir dari ‘rahim’ NU. Keluarga saya malah boleh dikata sebagai pendukung fanatik dan militan terhadap PPP. Lagi-lagi, ini lantaran figur karismatis Mbah Mun.

Fakta ini dalam tradisi santri nahdhiyin galib dikatakan sebagai ‘ngalap berkah’. Tradisi ini muncul bukan karena ‘taqlid buta’, tapi membudayanya kecintaan pada orang yang berilmu. Kecintaan yang tidak didasarkan karena pangkat, jabatan atau harta seseorang, melainkan karena berdasar pada ketakziman terhadap ilmu.

Cinta pada ilmuwan yang memiliki integritas moral dan kedalaman spiritual menjadi representasi dari wujud pengamalan ajaran Islam. Inilah yang membedakan dengan budaya yang muncul di era saat ini yang oleh filsuf posmo Frederick Jameson digambarkan sebagai sebuah dunia yang dangkal, dunia superfisial.

Keterpesonaan terhadap seseorang lebih karena hal-hal yang ‘lahiriah’ yang dibalut oleh simbol-simbol material dan atas nama milenial sehingga menjadi hipnosa yang bertalu-talu dan kerap membuat lupa daratan.