Blora – Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Blora ikut angkat bicara tentang temuan Dewan Pendidikan (Wandik) soal seragam SMP yang dijual Rp 800 ribu.
Ketua Komisi D DPRD Blora, Ahmad Labib Hilmy mengungkapkan keprihatinanya dengan pendidikan di masa pandemi covid-19 yang harus dibahas dan dipikirkan oleh semua pihak.
“Saya prihatin dengan pendidikan di masa pandemi, secara psikologi, secara kondisi spritual, karakter ini yang harus kita bahas. Kita bahas sesuatu yang fundamental saja. Karena pandemi ini sangat berdampak sekali,” ucapnya saat rapat bersama Bupati Blora, Kadinas pendidikan, MKKS dan perwakilan kepala sekolah di gedung pertemuan Dinas Pendidikan Blora, Sabtu (07/08).
Soal temuan seragam tersebut, Pria yang akrab disapa Gus Labib ini mengatakan persoalan seragam ini sebenarnya bisa diselesaikan di sekolah selama dikoordinasikan dengan dengan baik. Selama tidak melanggar regulasi dan dapat dipertanggungjawabkan tidak menjadi masalah.
“Selama tidak melanggar regulasi dan dapat dipertanggungjawabkan tidak menjadi masalah. Jika ada masalah teknis yang dinilai masih kurang, mestinya kita punya niatan memberikan solusi terbaik. Masak iya, masalah seragam saja sampai Bupati, ketua wandik, mkks, dan para ketua lainnya. Kalau permasalahan dikomunikasikan atau dikoordinasikan dengan baik tentu tak jadi persoalan,” tandasnya.
Ketua Dewan Pendidikan Kabupaten Blora, Masugiarto menegaskan lembaganya bukan merupakan lembaga profesional. Sehingga, terkait persoalan tersebut sudah menindaklanjuti ke Dinas Pendidikan. Dirinya berharap persoalan ini tidak menjadi preseden buruk bagi pendidikan.
“Sebagai ketua, kita tindaklanjuti, untuk mendatanginya. Di SMP N Tunjungan tidak sebesar itu. Kita sampai diperingati wandik propinsi. Kan selama ini, sudah berjalan baik, tapi kenapa mencuat seperti ini. Kita tidak ingin menjadi preseden buruk bagi pendidikan. Kan ada di komite sekolah, kalau sudah selesai ya sudah selesai, Jangan dengan persoalan kecil, pendidikan jadi terganggu,” tegasnya.
Pada kesempatan itu, anggota Wandik Blora yang menemukan temuan pertama seragam tersebut, Singgih hartono. Dia menginginkan pendidikan harus dijalankan sesuai regulasi, sehingga dapat mewujudkan pendidikan yang optimal.
“Saya sepakat dengan Gus Labib, kita membahas sesuatu yang besar tapi jangan mengabaikan sesuatu yang kecil. Dalam aturan, sekolah dilarang menjual buku atau seragam dan lain-lain, ada regulasinya. Kalau itu toko sekolah yang ngurusi siapa ? Bagaimana mekanisme toko di sekolah?? Bagaimana pertanggungjawabanya? Ini yang perlu diluruskan,” terangnya.
Menanggapi hal tersebut, Bupati Blora, Arief Rohman meminta persoalan seragam sekolah dikembalikan ke orang tua murid. Pasalnya, sekolah dilarang untuk ikut campur dalam pengadaan seragam sekolah.
“Kami perintahkan ke Dinas Pendidikan, MKKS dan seluruh kepala sekolah, pengadaan seragam sekolah ini dikembalikan ke orang tua murid, karena ketentuannya tidak boleh,” ucap Bupati.
Bupati juga berharap terhadap sekolah untuk tidak memberatkan orang tua murid terkait biaya seragam sekolah.
“Jika sekolah sudah terlanjur kemahalan, selisihnya dikembalikan. Jangan memberatkan orang tua yang tidak mampu,” pungkasnya. (Spt)