Bukan rahasia juga bahwa generasi sekarang merasa tidak tertarik lagi dengan gamelan tradisional. Sekarang, dunia berputar lebih cepat daripada di lingkungan Kraton. Hidup simpel, praktis sederhana dirasa lebih tepat dari pada hidup penuh ritus seperti adat istana Solo dan Jogja. Kosmis kuno tentang Mandala dan Meru runtuh dikala piranti-pirantinya ditinggalkan. Adat Jawa makin kurang dikenal oleh generasi muda yang lahir dan tumbuh di perkotaan.

Bahwa, alat musik gamelan mulai masuk menjadi bagian budaya Jawa sejak 2500 – 1500 sebelum Masehi, dan mencapai puncaknya ketika Rebab mengambil bagiannya di posisi tengah depan, dan Bonang menjadi nada penentu ketukan awalnya.
Seorang sastrawan Belanda yang takjub dengan suara gamelan, Henri Borel, di dalam bukunya, “Van De Engelen”, melukiskan bahwa gamelan merupakan “Musik Nyawa”.
Musik dan mistikus gamelan rupanya tak luput dari seorang penulis, sekaligus Pahlawan perjuangan wanita Indonesia, yang bernama Kartini dari Jepara.
Kartini pernah menulis :
… tetapi darah Jawa kami yang sejati, yang hidup dan panas mengalir diseluruh tubuh kami, tak bisa untuk disembunyikan. Kami rasai hal itu senantiasa, bila kami membaui bunga dan asap dupa, mendengar suara gamelan dan desir angin dipucuk pohon kelapa. Mendengar kicau burung tekukur, suara puput batang padi dan dentam lesung padi…
Bagaimana unsur-unsur gamelan membuat benih kekuatan akan kesadaran diri. Gamelan, menurut Kartini, menjadi gambaran, betapa indahnya bahasa Jawa, ketika seorang anak kecil pribumi bertanya kepada Ibunya.
…
Orang tua itu bertanya, apakah kehendak si anak itu. Sedangkan makanan pun tak ada padanya, apalagi perhiasan dan pakaian. Anak itu menjawab: „Saya tidaklah ingin meminta makanan, perhiasan dan pakaian. ” Ya ibuku, berilah saya bunga yang kembang di dalam hati.” O, cobalah engkau dengar permintaan anak itu dalam bahasa Jawa, betapa manis dan merdunya: „Nyuwun sekar melati, ingkang mekar ing punjering ati.”
…
Gamelan paling menyentuh jiwa jika ditabuh dengan tempo pelan atau terdengar dari kejauhan. Gamelan tak pernah berlagu riang, walau di tengah riuh gelak tawa keramaian. Namun lagu gamelan itu, selalu paling merindukan jiwa. Barangkali itulah sebabnya, hidup itu seperti selalu mendamba sesuatu, merindui, dan tidak bersenang girang hati.
Tentang penulis: Totok Supriyanto adalah pemerhati sejarah dan budaya.
*Opini di atas merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab Bloranews.com