fbpx
OPINI  

KOLAM EMAS JIPANG

Ilustrasi.
Ilustrasi.

Jawa telah dikenal bangsa Arab sejak abad 7 melalui para pedagang yang melintas menuju dataran China. Termasuk kemudian tercantum dalam Ar-Rihlah Ibnu Batutah, berupa kitab catatan perjalanan paling penting mengenai keadaan dunia abad 14. 

Seringkali para pedagang Arab itu mengabarkan keadaan tentang kota raja-raja Jawa. 

Ibukotanya terletak di tepi sungai yang panjang, yang pasti tidak selebar sungai Tigris dekat Bagdad dan Basra. Pasang menyebabkan tidak mungkinnya air sungai untuk mengalir ke dalam laut, itu hanya terjadi pada waktu surut, dan airnya hanya mengalir ke suatu kolam yang terletak langsung di istana raja. Punggawa penjaga istana dengan disaksikan oleh raja setiap hari melempar sepotong emas ke dalam kolam itu; benda itu berbentuk seperti tegel dengan ukuran berat yang tidak dikenal lagi, yaitu satu Zand. Air sungai saat pasang menutupi potongan-potongan emas itu, yang kemudian akan tampak lagi pada waktu surut, dan berkialuan kemana-mana. Dan apabila raja dalam pendopo, tempat pertemuan dengan para punggawa tertinggi, ia melihat ke arah kolam yang berada depan pendopo, kebiasaan itu tidak pernah berhenti. Selama hidup sang raja, potongan-potongan emas itu tak pernah dihitung, baru oleh penggantinya yang kemudian menyuruh mengeluarkan semua tegel emas itu dari kolam. Potongan-potongan itu lalu dihitung, agar tidak ada yang tersisa. Kemudian dihitung lagi, dituang dan dibagikan diantara para kerabat raja pria maupun wanita, anak-anaknya dan para pelayan raja. Pada waktu pembagian itu diperhatikan juga pangkat dan hak-hak istimewa dari para penerima, sisanya diberikan kepada orang-orang miskin dan orang-orang cacat. Jumlah dan berat potongan-potongan emas itu dihitung secara cermat. Sehingga kemudian apabila seorang raja bertahta dan berapa lama pemerintahannya dan berapa potongan emas telah dilemparkan ke dalam kolam, dan kemudian bagaimana emas dibagi-bagi setelah ia meninggal, maka raja yang paling lama bertakhta menurut bukti tegel-tegel emas itu adalah raja yang paling dihormati oleh rakyatnya.

Sungguh, berita itu seakan mengabarkan bagaimana air sungai besar (Bengawan) menjadi hal pokok bagaimana aset paling berharga kerajaan terlihat, juga akhirnya Majapahit, berupa tegel-tegel emas yang dikumpulkan oleh para Panji lewat penunggang kuda Ajaran Rata-nya. Ajaibnya, berita Arab itu berkesesuaian dengan cerita tradisi tentang sungai bernama Bengawan Sore di Jipang. Menurut Babad Tanah Jawi, sungai yang juga dinamakan Kali Lanang ini melingkar kawasan Mesigit Jipang, menjadi batas sekaligus saksi dimana pasukan gabungan Pamanahan dan Penjawi berkumpul di sisi barat, sementara Arya Jipang dan Matahun yang sudah tua di sisi timurnya. 

Apakah menurut penguasa Laut Utara Jawa, kolam itu seharusnya tidak jauh dari lokasi mereka berada? Sehingga baru diketahui setelah Gagak Rimang yang menjaga rahasia kematian raja datang untuk mengunjungi lokasi kolam itu. Tak ada yang membantah bahwa emas memang membutakan mata. Kemelut kecil, rahasia dan gelap tentang gemerlap aset itu, bahkan akhirnya menjadi pertanda dimulainya periode baru Kasultanan Jawa. 

Kemudian jika pada kenyataanya para Sunan tidak ada yang diundang, Keramat Sunan Giri pun bersyair :

“Etan kali, kulon kali, tengah-tengah tanduran pari, saiki ngaji sesuk yo ngaji, iku manut poro Kiyai”.

Timur sungai, barat sungai, ditengahnya tanaman padi, sekarang belajar, besok pun belajar, itu menurut para guru Islam.

Rupanya, seketika itu dan juga setelahnya, pencarian perbendaharaan utama kerajaan Majapahit berbuah hasil ketika kolam emas itu telah menjadi sawah bertumbuh padi, yang mungkin juga secara kebetulan digarap oleh Martani. 

Tentang penulis: Totok Supriyanto merupakan pemerhati sejarah dan budaya.

*Opini di atas merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab Bloranews.com