fbpx

LEBIH DEKAT DENGAN KYAI MA’SHUM, PEMIMPIN NU YANG BERSAHAJA

KEDUNGGLONGGONG, BOGOREJO ( 11 / 11 / 2015 ) Tidak banyak yang mengira bahwa pemimpin ormas islam terbesar di kabupaten Blora, Nahdlatul Ulama adalah seorang kyai dengan postur badan yang kecil. Ayah tiga putra ini adalah pribadi yang sangat moderat, hampir para tokoh masyarakat dari berbagai paham keislaman dan profesi mengunjunginya. Mulai dari tokoh lintas ormas, praja pemerintahan sampai para tokoh politik di kabupaten Blora. Namun kesibukan menerima tamu dari banyak golongan ini tidak melupakan tugas utamanya, sebagai kyai yang harus mengajar ilmu agama, beliau adalah Kyai Haji Muhammad Ma’shum Fathoni.

Ditemui reporter Bloranews.com pada selasa ( 10 / 11 / 2015 ) Mbah Ma’shum bangun dari Qoilullah ( tidur setelah sholat dluha untuk persiapan sholat zhuhur ) langsung mempersilakan duduk dan menyajikan makanan kecil. Sosoknya tidak tinggi, dengan tubuh yang proporsional. Mengenakan peci putih berbordir dan baju batik, tak ketinggalan pakaian khas santri, beliau memakai sarung.

Menjadi Ro’is Syuriah ( Ketua Penasehat / Ketua Pembina ) Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama dari tahun 2012 silam, sebelumnya, sejak kembali dari proses mondok di Pondok Pesantren Al Ghozaliyyah Sarang – Rembang tahun 1986, beliau langsung bertugas di a’wan syuriyah pada berbagai jenis bidang khidmat. Berkomitmen bahwa membangun masyarakat adalah dengan cara membumikan tradisi – tradisi pesantren dalam banyak aspek. Beberapa diantaranya adalah mengaktualisasikan nilai – nilai kesederhanaan, kemandirian dan independen. Sebelum melakukan formulasi terhadap nilai – nilai tersebut di masyarakat, suami dari Nyai Hj. Siti Ma’rifah Ma’shum ini terlebih dahulu membiasakan para santrinya untuk hidup sederhana.

Dikaruniai tiga putra, Muhammad Ali Hamdan (9), Muhammad Zamzami Maimuni (5) dan Muhammad Faidlon Robbani (1) Mbah ma’shum dalam kesehariannya adalah pribadi yang tegas dalam hal ubudiah mahdlah ( Ibadah – Ibadah yang ditentukan ). Tak jarang, beliau mengajak para tamunya untuk sholat berjamaah bersama para santri. Usianya yang telah lanjut, bukan halangan untuk bergegas dalam hal kajian ilmu agama, dan ibadah – ibadah fardlu.

Diantara kesibukan Mbah Ma’shum adalah mengaji Kitab Tashawwuf ( Seni menata hati dalam agama islam) al Hikam setiap hari minggu. Dihadiri oleh ratusan jama’ah, dari golongan santri ataupun masyarakat kecamatan Bogorejo yang diselenggarakan secara rutin. Dalam kegiatan Ngaji al Hikam tersebut, pada beberapa minggu terakhir dihadiri pula oleh para calon bupati Blora. “Mereka hendak mengkaji kitab, saya tidak melarang mereka datang” Jelas Mbah Ma’shum.

Mbah Ma’shum merupakan generasi ke empat dari para pengasuh pondok pesantren Kedungglonggong, Bogorejo. Pondok berusia ratusan tahun in dipelopori oleh Kyai Hasan Bakri yang kemudian dilanjutkan oleh menantunya Kyai Muhammad Tamyiz. Kyai Hasan Bakri pada mulanya memberi nama pondok pesantren ini Itsbatul Qori, kemudian berganti nama menjadi Pesantren Nahdlatoel Oelama pada masa kepemimpinan Kyai Muhammad Tamyiz. Ketika memimpin pesantren ini pada tahun 1986, Mbah Ma’shum mengganti nama pesantren ini menjadi Mansya’ul Huda, beliau terinspirasi dari almamaternya, pesantren Mansya’ul Huda Sarang – Rembang, pimpinan Kyai Haji Abdullah.
Netralitas Mbah Ma’shum dalam Pilkada Blora sangat tegas. Beliau menerima semua golongan politik untuk berkunjung dan ngaji pada pengajian beliau. “Saya tidak tim sukses siapa – siapa” jelas Mbah Ma’shum.

Kontributor bogorejo : khoirun ni’am