fbpx

MEMBAGI DBH MIGAS UNTUK DESA PENGHASIL

Almarhum wakil menteri ESDM Widjajono Partowidagdo sebelum wafatnya, pernah melontarkan wacana pentingnya membagi dana bagi hasil (DBH) minyak dan gas bumi (migas) sampai ke tingkat desa penghasil. Argumentasi mendasarnya adalah, demi keadilan dan percepatan peningkatan kesejahteraan masyarakat disekitar lokasi tambang migas. Wamen nyentrik ini juga pernah menyampaikan, 70% desa yang menjadi lokasi tambang di Indonesia masuk dalam kategori desa miskin.

 

M. Khamdun

 

Karena kemiskinan itulah banyak sekali muncul aksi protes warga disekitar lokasi tambang migas yang disampaikan kepada perusahaan dan pemerintah daerah. Hal ini terjadi karena ada relasi yang tidak seimbang antara warga desa yang miskin dan aktifitas perusahaan migas yang megah dan padat modal. Oleh karena itu, DBH migas untuk desa bisa menjadi alat membangun keamanan dan stabilitas sosial desa. 

Ide ini tentu saja sangat menarik. Warga di desa penghasil, setiap harinya menyaksikan aktifitas penyedotan kekayaan bumi yang bernilai miliaran rupiah tersebut. Tetapi hampir dapat dipastikan seluruh atau sebagain besar warganya tidak terlibat dalam proses ekpsloitasinya.

Sementara di sisi lain, warga sebagai penduduk asli, sudah puluhan tahun menempati tanah di desa (yang kebetulan memiliki kekayaan SDA Migas) tersebut. Dan terbangun rasa kepemilikan sangat besar terhadap desanya. Sehingga sangat wajar jika terjadi eksploitasi kekayaan SDA di wilayahnya terbangun sentiment rasa kepemilikan yang besar.  

Terabaikan

Sejauh ini, memang tidak ada perlakuan khusus untuk desa kaya SDA “emas hitam” ini. Dan pembiaran oleh pemerintah daerah terhadap desa penghasil juga masih terus berlangsung. Jika terus dibiarkan kecemburuan warga terhadap “kemewahan” aktifitas migas akan semakin besar.

Implementasi DBH Migas untuk desa ini tentu sangat ditunggu desa penghasil. Karena terbukti, desa penghasil migas perkembangannya sama dengan desa-desa lainnya. Bahkan ada desa penghasil migas yang kondisinya lebih buruk secara ekonomi, fasilitas publik, maupun infrastruktur penunjang lainya, dibanding desa non penghasil migas.

Contohnya Desa Semanggi Kecamatan jepon Kabupaten Blora. Semanggi adalah desa penghasil migas sejak jaman Belanda. Ada beberapa data sejarah yang mencatat, eksploitasi migas di Semanggi sudah berusia ratusan tahun. Tetapi salah satu desa di Kecamatan Jepon ini kondisinya tidak banyak perkembangan. Tercatat, Semanggi adalah desa termiskin kedua di Kecamatan Jepon. Jumlah kemiskinannya tercatat 40% dari total penduduknya yang ber jumlah 2296 jiwa. Di Semanggi terdapat banyak mulut sumur yang menghasilkan emas hitam ini. Pertamina mengeksploitasi 11 titik sumur, 8 sumur menghasilkan minyak dan 3 sumur menghasilkan gas.

Titis Sampoerna, sebuah anak perusahaan PT Sampoerna juga mengekploitasi sebuah sumur gas yang hasilnya digunakan untuk bahan bakar PT Kacang Garuda di Pati. Selain itu masih terdapat 101 sumur tua peninggalan Belanda yang 50 titik diantaranya sedang dieksploitasi secara tradisional oleh investor-investor dari Kudus, Semarang, Jogja, Palembang, Jakarta bahkan ada yang dari Malaysia.

Bukti ini menunjukkan bahwa kekayaan alam di desa penghasil migas tak berbanding lurus dengan kesejahteraan masyarakatnya. Multiplier effect migas mulai dari tenaga kerja, sektor jasa, perbaikan infrastruktur tak berjalan di Semanggi. Hanya ada hitungan jari warga yang bisa bekerja di perusahaan tambang. Sektor jasa lainnya juga tidak berjalan. Warga hanya menjadi penonton setiap aktifitas pertambangan yang syarat modal dan teknologi ini.

Apa yang terjadi di Semanggi sejatinya adalah contoh kecil. Banyak hal yang sama terjadi pada desa penghasil migas, bahkan mungkin lebih sulit dari Semanggi.

 

DBH Migas

Sebagai catatan, DBH Migas yang diterima Blora dalam setiap tahunnya memang tidak terlalu besar, kisaran Rp 1-2 milyar. Jumlah ini di dapat dari jatah  6% untuk kabupaten penghasil, sesuai ketentuan UU nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Dalam konteks ini, jumlah DBH yang diterima kabupaten tidak bisa menjadi alasan untuk tidak membagi DBH Migas ke desa penghasil. Berapapun jumlahnya, menurut hemat penulis membagi DBH Migas untuk desa adalah hal yang penting.

Angka atau prosentase adalah persoalan teknis yang bisa ditentukan kemudian. Karena bagaimanapun juga ketika membagi DBH migas untuk desa penghasil harus memperhatikan prinsip-prinsip penganggaran dan kebutuhan pembangunan. Dan bagi desa penghasil, berapapun jumlah dana bagi hasil yang diterima tentu saja akan sangat bermanfaat.

 

Opsi

Memberikan dana bagi hasil untuk desa mungkin memang bukan persoalan mudah. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Yang paling utama adalah soal peningkatan pengawasan anggaran. Memberikan dana bagi hasil untuk desa jika tidak hati-hati akan terjadi penyelewengan dalam penggunaannya di desa. Jika salah urus bisa menjadi “tiket penjara” bagi pengelolanya. Karena jumlah dana yang masuk ke desa akan lebih besar dari biasanya. Maka, opsi yang dipilih adalah membuat mekanisme blok grant  migas dari kabupaten ke desa.

Mekanisme ini dilakukan untuk mempersempit dan membatasi ruang penyalahgunaan anggaran oleh pelaku desa. Karena dikhawatirkan jika tidak ada petunjuk khususnya penggunaan dana migas ini tidak akan tepat sasaran.

Dengan model mekanisme semacam ini diharapkan akan mampu mendorong percepatan perbaikan kesejahteraan masyarakat di desa penghasil. (*)

Khamdun : Penulis adalah pemerhati dan pecinta Kabupaten Blora