fbpx

MENGENAL LEBIH DEKAT PENDIRI FASTCO BLORA, PERAIH BEASISWA DI KAMPUS UNIVERSITY OF KANSAS AMERIKA

Ingin tak gagap ngomong berbasa inggris. Datang saja di Fastco. Tempat belajar Bahasa Inggris yang menyenangkan. Menggunakan metode unik. Dijamin, lulus dari sana mahir berbahasa Inggris.
Pendiri Fastco Blora, Ahmad Setio Widodo (kiri).

Blora – Ingin tak gagap ngomong berbasa inggris. Datang saja di Fastco. Tempat belajar Bahasa Inggris yang menyenangkan. Menggunakan metode unik. Dijamin, lulus dari sana mahir berbahasa Inggris.

Selama 9 tahun ini, ribuan orang pernah mengenyam pendidikan Bahasa Inggris di Jalan Gunung Wilis, Nomor 41, Kelurahan Tempelan, Blora. Mulai dari anak Playgroup hingga mantan Staf Ahli Bupati.

Kepada wartawan Bloranews ini, Ahmad Setio Widodo mengaku, Fastco mulai dirintis pada 2013 silam. Namun bener-bener siap setahun kemudian. Yaitu tahun 2014. Tepatnya setelah dirinya lulus kuliyah dari IAIN Syech Nurjati Cirebon. Tepatnya lagi setelah dia kembali dari Kampus University Of Kansas Amerika Tengah.

“Awal mula tertarik bahasa Inggris ketika saya mendapat kesempatan untuk kuliyah gratis oleh paman saya di Cirebon. Saat itu ambil jurusan Bahasa Inggris,” ucapnya.

Tak ingin mengecewakan sang paman, anak pertama dari tiga bersaudara ini terus mengasah kemampuannya berbaha asing tersebut. Caranya dengan getol belajar Bahasa Inggris dengan berbagai metode melalui internet.

“Selain itu, saya mengikuti nasehat temen-temen yang sudah bisa berbahasa Inggris. Kemudian saya mempraktekkan dengan didampingi teman yang pintar Bahasa Inggris. Alhamdulillah bisa saya rasakan sampai saat ini,” tambahnya.

Jebolan SMA 1 Tunjungan Blora ini mengaku, awal mula belajar Bahasa Inggris memang tidak mudah. Butuh keseriusan dan kedisiplinan. Setelah beberapa bulan belajar Bahasa Inggris secara Intensif, akhirnya mulai mampu berbicara Bahasa Inggris. Meski jauh dari kata sempurna.

“Beranjak Semester 3, saat liburan kuliah, saya pergi ke Kampung Inggris. Hijrah untu belajar pada empunya. Di sana saya bertemu Mr. Faruq.  Kemudian saya belajar dengan beliau sekitar 2-3 bulan,” ucap anak dari pasangan Sunaryo dan Sri Sulistyowati.

Setelah selesai liburan dan kembali masuk kuliyah, dia memutuskan untuk bergabung dengan temannya dan menjadi mentor bahas inggris. Ini semata-mata untuk mengembangkan ilmu dan metode yang di dapatkan dari kampung Inggris.

“Alhamdulillah, dengan niat untuk berbagi ilmu, kemampuan Bahasa Inggris saya semakin meningkat. Karena saya selalu mempraktikkan Bahasa Inggris itu saat mengajar,” tegasnya.

Selain itu, dia juga ikut dalam Organisasi Kampus Inggris. Sehingga dia lebih mudah untuk mencari teman dan berlatih Bahasa Inggris.

“Saat liburan, saya selalu pergi ke Kampung Inggris lagi. Namun bukan lagi belajar. Melainkan jadi pengajar. Disitulah saya bisa mendapatkan metode Bahasa Inggris yang cepat, tepat, menyenangkan dan berkualitas,” tambahnya.

Tahun 2011, ayah satu anak ini mendapat informasi beasiswa untuk pertukaran pelajar ke Amerika dari Internet.

“Kemudian saya menanyakan kepada senior dan dosen untuk ikut beasiswa tersebut. Setelah mempersiapan segala sesuatunya, akhirnya saya bisa ikut. Waktu itu pesertanya sekitar 3000 orang. Lolos 20 orang salah satunya saya,” ucapnya.

Saat hendak mengikuti test, sebenarnya dia tidak memiliki uang. Sebab baru saja kehilangan sepeda motor dan helm. Sehingga dia terpaksa nebeng teman-temannya yang ikut test seleksi dan akhirnya mereka tereliminasi.

“Saat itu tidak langsung dikabari siapa yang lulus. Setelah 3 bulan berlalu, saya ditelfon pihak Jakarta untuk memberikan selamat. Awalnya saya pikir itu penipuan. Ternyata beneran. Saya lolos dan bisa ikut beasiswa. Seminggu berikutnya saya pergi ke Jakarta dan membuat paspor dan cek kesehatan. Satu bulan kemudian berangkat ke Amerika,” imbuhnya.

Selama 6 bulan di University Of Kansas Amerika Tengah, dia mendapat banyak pelajaran. Mulai kedisiplinan waktu, metode belajar bahasa inggris, mengasah kemampaun dan lainnya.

“Di sana kami belajar dengan para guru besar di Amerika. Selain itu mempelajari budaya dan keyakinan mereka,” tambahnya.

Menurutnya, di Amerika, metode mengajarnya memang beda dengan di sini (Indonesia, red). Di sana, lebih cenderung bagaimana membuat siswa lebih antusias untuk belajar. Sehingga belajar bisa dari kemauan diri sendiri. Sebab belajar tidak bisa dari paksaan orang lain. Selain itu karakter itu terbentuk oleh metode yang diajarkan dan peraturan yang ada di kampus sangat ketat.

“Mereka juga sangat disiplin soal waktu. Tidak ada kata telat dan terlambat. Sekamar satu dengan orang Jepang. Di sana juga memanfaatkan tekhnologi seperti belajar dengan internet, medsos, dan proyektor setiap waktu,” tambahnya.

Setelah pulang dari Amerika, ayah dari Ahmad Tsaqif Rayyan Athariz ini fokus menyelesaikan skripsi dan wisuda. Sempat ingin melanjutkan kuliah S2 di Australia. Namun saat tiba di Blora, hati kecilnya terpanggil untuk ikut mencerdaskan anak-anak Blora soal Bahasa Inggris.

“Sejak saat itu, saya mulai mengajar Bahasa Inggris di rumah. Dengan menggunakan fasilitas seadanya. Saya harus berbagi ruangan dengan dapur milik ibu saya. Siswa pertama adalah adik-adik saya dan teman-temannya. Sehinga jadi seperti ini,” bebernya.

Suami dari Siti Mardhiyah ini mengaku, saat itu terbesit nama Fasco. Yang artinya, Fastabiqul Khoirot. Berlomba-lomba dalam kebaikan. Dengan lambang garis 9 dan Bintang 9.

“Tahun 2014 siswa mulai banyak. Sudah 50-an. Mulai dari sekolah dan umum. Sampai sekarang sudah ribuan,” jelasnya.

Ahmad Setio Widodo mengaku, saat ini lulusan dari Fasco kebanyakan masuk di polisi, kapal pesiar, ikatan dinas, dan kerja di berbagai bidang. Ada juga yang di luar negeri. Semua kalangan. Mulai dari Playgroup, pelajar, ASN, Polisi, pembisnis dan lainnya. Mulai dari anak petani hingga ASN.

“Kasat Lantas Polres Blora juga pernah belajar di FASCO. Serta Staf Ahli Bupati,” bebernya.

Selama tujuh tahun berdiri, sudah ribuan yang pernah belajar dari Fasco.

“Pengajar saat ini ada 5 orang. Tidak hanya yang lulus juga anak kuliahan. Lulusan Fasco juga. Sehari ada 15 kali pertemuan. Sekali pertemuan 15 orang. Sekarang maksimal 8-10 orang. Mulai jam 08.30-20.00. Pelajaran selama 01.30 menit,” tambahnya.

Selama 9 tahun ini dia merasa senang bisa mendidik dan membantu mencerdaskan anak bangsa. Sebab pendidikan Bahasa Inggris itu kurang. Dia ingin mendorong orang Blora bisa memiliki daya saing dan posisi tawar saat bekerja di tempat sendiri. Sehingga mereka ikut berpartisipasi dalam mengelola SDA yang ada. Sekarang Bahasa Inggris jadi kebutuhan bahasa sehari-hari.

“Mengajar bahasa inggris itu menyenangkan dan bermanfaat. Untuk para pelajar, belajar Bahasa Inggris itu mudah. Namun tergantung metodenya. Semakin menyenangkan akan semakin mudah dan menarik untuk dipelajari. Harapannya, semakin banyak orang yang bisa berbahasa Inggris, sehingga akan semakin mudah Blora menjadi kota berkembang,” ucapnya. (sub).