fbpx

MENGENANG SOE HOK GIE, SANG IDEALIS PENENTANG REZIM OTORITARIAN

52 tahun silam, dunia aktivisme dibuat duka oleh meninggalnya seorang demonstran bernama Soe Hok Gie. Tertanggal 16 Desember 1969, Gie bersama temannya, Idhan Lubis menghembuskan nafas terakhir karena menghirup gas beracun kala mendaki di gunung semeru.
Foto Soe Hok Gie

Blora- 52 tahun silam, dunia aktivisme dibuat duka oleh meninggalnya seorang demonstran bernama Soe Hok Gie. Tertanggal 16 Desember 1969, Gie bersama temannya, Idhan Lubis menghembuskan nafas terakhir karena menghirup gas beracun kala mendaki di gunung semeru.

Dalam perjalanan hidupnya, pria keturunan Tionghoa itu terkenal sebagai Intelektual yang kritis terhadap penguasa. Ketika masih kuliah di Universitas Indonesia (1962-1969), Gie senantiasa mengkritisi rezim Soekarno yang dianggapnya terlalu otoriter, dan karakter itu berjalan sampai dia menjadi dosen.

Melalui keterampilan menulis, pemuda yang lahir 17 Desember 1942 itu mencatat keresahan organiknya terhadap penguasa. Banyak tulisan Gie yang kemudian dipublis di koran-koran, seperti Kompas, Harian Kami, Sinar Harapan dan Mahasiswa Indonesia.

Selain dikenang sebagai seorang idealis yang kritis terhadap penguasa, Gie juga dikenang sebagai penulis ulung. Banyak sekali gagasannya yang ditelurkan dalam bentu karya, seperti Catatan Seorang Demonstran, Zaman Peralihan, Di Bawah Lentera Merah dan Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan.

Sebelum meninggalkan kekejaman dunia, Gie pernah menulis dalam buku hariannya:

“Seorang filsuf Yunani pernah menulis… nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tetapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya emang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda.”

Ucap Soe Hok Gie dalam buku hariannya yang kemudian diterbitkan pada tahun 1983, berjudul Catatan Seorang Demonstran. (kin)