fbpx
OPINI  

MENGURAI MITOS JIPANG

Peta Jawa tahun 1812
Peta Jawa tahun 1812

Harus diakui bahwa kronologi Jipang sampai saat ini belum secara terbuka disajikan dan dikaji lebih dalam. Tetapi terlanjur Jipang identik dengan sebuah kerajaan ‘merah’, yang terkungkung pada kisah seorang Arya Panangsang. Walaupun secara sadar atau tidak, harusnya sejarah Jipang tidak muncul dan tenggelam begitu saja karena serangan Pajang abad 16. Sehingga cerita panjang Jipang itu, mau tak mau, tak sepantasnya hanya dikaitkan dengan seorang Arya, yang dikatakan telah bunuh diri secara tak sengaja.

 

Peta Jawa tahun 1812
Peta Jawa tahun 1812

 

Dari keterangan beberapa prasasti abad 13 dan 14, pada era Singhasari sampai Majapahit, sudah menyebut nama Jipang dengan status spesialnya sebagai desa swatantra, semacam tempat berlabuh para banyaga (pedagang) atau tempat nadhitira pradesa di bantaran Bengawan. Didalam Babad Tanah Jawi, Hikayat Banjar, Hikayat Hasanudin ataupun cerita tutur yang berkembang, dimana bercerita tentang kerajaan Jipang, dapat disepakati juga bahwa Jipang di abad 15 adalah sebuah negeri kuat masa transisi dan juga wilayah penting penyebaran Islam. Jipang bahkan menempati urutan ke dua setelah Ngampel (Ampel), sebagai wilayah yang paling pertama masuk Islam di Jawa, lebih awal ketimbang Demak.

Semua karya pujangga-pujangga itu, baik Jawa maupun Melayu, juga sepakat bahwa letak kota kuno itu berada di bantaran Bengawan. Dari keterangan cerita tradisi dan sebaran bata kuno, sebuah asumsi kemudian muncul dan menjadi kuat, bahwa letak kota Jipang berada di dusun Jipang (Cepu, Blora), dengan makam Gedong Ageng-nya. Namun, disebuah dusun bernama Jipang-ulu (Ngelo, Bojonegoro), yang terpencil dan terletak persis berhadapan dengan sebuah goa di tebing Bengawan (Goa Sentono, Menden), dimana ditemui juga makam Wali Santri, cukuplah menjadi bahan pertimbangan, tentang bukti keberadaan pusat kota sebuah negeri penuh mitos bernama Jipang. Dan bisa jadi, sebutan Panghulu muncul untuk mengenang daerah ini.

Tidak ada keterangan pasti, nihil bukti sezaman, karena semua pujangga bungkam dengan cara kematian tokoh paling fenomenal Jipang, bernama Arya Penangsang. Sehingga kisah-kisah (heroik) tentangnya, yang diceritakan setelah kematianya, berangsur-angsur berubah menjadi hagiology (takhayul) yang lengkap dengan segala unsur mistisme khas Jawa; kesempurnaan dan kedigdayaan. Muncul juga mitos anti mainstream: bahwa Arya Penangsang memiliki keperkasaan Gagak Rimang dan kesaktian keris Setan Kober, sehingga sebenarnya ia tidak pernah mati, semua anggapan pastilah salah!

Apa yang dilebih-lebihkan pada legenda tidak selamanya selalu salah, karena ternyata Jipang masih hidup setelah serbuan mematikan pasukan Pajang. Jipang tidak benar-benar mati hanya karena gugurnya seorang pemimpin. Bahwa kerabat Arya (yang tersisa) dikabarkan mengungsi ke Palembang via Surabaya. Keturunan Panghulu Jipang berhasil membangun pusat Islam di Loram Kudus. Dan, tampak jelas upaya-upaya dilakukan untuk membangkitkan kembali kejayaan Jipang. Pangeran Benawa putra Sultan Hadiwijaya, membangun pusat Jipang baru (atau tepatnya replika) di Panolan, segera setelah melihat bahwa Pajang mulai dikuasai orang-orang Demak. Tetapi ketika kekuatan Jipang sudah mulai bangkit, sungguh diluar dugaan, justru Mataram – nama yang sama dengan negeri kuno pra Majapahit dengan kemegahan candi-candi Hindu-Budha – adalah pemenang perlombaan politik, menjadi penguasa tertinggi Jawa. Pangeran Banawa harus rela mengantarkan kejayaan Mataram dengan menyerahkan seluruh wilayah Jipang.

Jipang adalah negeri perbatasan antara pesisir luar dan pegunungan pedalaman Jawa, juga negeri yang muncul pada persimpangan masa atau peralihan zaman. Dan agaknya selalu akan seperti itu. Kemiripan “nasib” antara Haji Worawari dengan Arya Penangsang mencuat, tidak hanya sama-sama sebagai tokoh yang mewakili masa peralihan, tetapi juga tentang posisi wilayah kepimpinannya. Bahwa ketika pusat kerajaan Mataram berpindah dari Tengah ke Timur, juga sebaliknya, Worawari ataupun Jipang ternyata menempati posisi tengahnya. Sehingga orang akan mudah beranggapan, bahwa letak Worawari dan Jipang pastilah sama. Banyak peneliti kemudian menyimpulkan bahwa Ngloram adalah pusat kerajaan Worawari, yang letaknya hanya 1 pal dari Jipang. Tetapi bagaimanapun asumsi tentang Worawari, akan lebih lengkap jika penelitian itu juga dilakukan di Lowara, desa hilang yang mungkin sekarang berada dekat Losari.

Cerita tradisipun lalu menyebut bahwa Mataram besar karena hadiah atas kekalahan Jipang. Mataram baru ini dikenal sebagai Mataram Islam, tumbuh dengan semangat Mataram Kuno disajikan dengan nuansa Islam. Memang, tatanan Jawa (pakem) secara istimewa sudah digubah oleh Sultan Agung yang termahsyur, tetapi penyatuan seluruh Jawa masih butuh waktu yang panjang. Pertumpahan darahpun tak bisa dibendung, bersamaan kapal-kapal Kompeni Belanda yang bersandar di pesisir Jawa.

Seperti yang sudah-sudah, Jipang akan berkali-kali menjadi lokasi perang suksesi, sehingga siapapun pemimpin utama Jawa, jika tak ingin tersaingi, pasti mengukur kapasitas Jipang. Oleh sebab itu degradasi otoritas Jipang jelas terjadi, diawali dengan perubahan statusnya dari Kadipaten menjadi Kabupaten (1677), walau tetap dengan seorang pemimpin bernama Arya dan Patihnya. Sementara itu, VOC yang telah menguasai sepenuhnya wilayah pesisir utara Jawa di abad 18, melakukan upaya pembatasan akses di perbatasan Jipang. Berdampak terjadi penurunan populasi penduduknya. Pihak Mataram yang bermaksud membentengi gerak langkah Kompeni, justru melakukan semacam pembiaran infrastuktur, sehingga wilayah Jipang, sejak saat itu, mau tidak mau harus “dihutankan”.

Mengenai wilayah Jipang di awal abad 19, peta yang dikeluarkan Raffless paling tidak menjadi bukti paling jelas terkait daerah-daerah kekuasannya. Wilayah itu, dari timur ke barat, terdiri dari seluruh Bojonegoro, Blora bagian selatan, dan Grobogan bagian timur. Singkatnya, wilayah Jipang adalah wilayah irisan dari Blora, Bojonegoro dan Grobogan. Jejak-jejak karakter itu masih berbekas sampai sekarang.

Sementara Kabupaten Blora tampak lebih serius menangani situs-situs dan mitologi Jipang. Kabupaten Bojonegoro, bahkan sudah mempunyai Hari Jadi yang disepakati berkaitan langsung dengan Jipang. Dimana merupakan tanggal berubahnya status Jipang dari Kadipaten menjadi sebuah Kabupaten. Klaim hari itu muncul setelah pada tahun 1998 dilakukan kajian intensif pada serat “Prajangjian Dalem Parara Ingkang Jumeneng Nata” yang dikeluarkan oleh Istana Mataram.

Berkebalikan dengan peta Raffless yang terang, awal abad 19 rupanya merupakan awal dimana Jipang mengalami masa gelap. Kompeni VOC berubah menjadi Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, dan juga Inggris, menjadi benar-benar tahu apa itu “devide et impera”. Pecah belah wilayah menjadi sangat terukur mengikuti kelemahan karakter Jawa. Di sisi lain, jalur perdagangan Bengawan Solo menjadi kurang poluler, bersamaan dengan dibangunnya jalan-jalan tol Belanda. Ditambah pula, ambisi untuk memonopoli hasil hutan Jati di Jipang dilancarkan oleh Kolonial Belanda. Pusat kota Jipang lalu berpindah menuju ke arah hilir Bengawan, dari Panolan menuju ke Padangan, juga Rajegswesi. Puncaknya, kemenangan besar pasukan Sosro Dilogo (saudara ipar Pangeran Diponegoro) melawan Belanda di hutan Cabean, Plunturan (1827) harus dibayar mahal, dengan hilangnya nama Jipang dari peta sepenuhnya.

Tentang penulis: Totok Supriyanto adalah pemerhati sejarah dan budaya.

 

*Opini di atas merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab Bloranews.com