fbpx

MENYOAL GAYA HIDUP HEDON PEJABAT, PERRLUKAH?

Ilustrasi mobil
Ilustrasi

Gaya hidup mewah pejabat di Indonesia sudah bukan hal yang asing lagi. Terlebih gaya hidup  hedonis pejabat yang akhir-akhir ini disorot publik, disinyalir mengandung aroma tak sedap terkait dari sisi perolehan harta yang tidak wajar. Padahal pejabat adalah abdi negara yang pendapatannya telah ditetapkan dan tidak mungkin mencukupi untuk memenuhi gaya hidup hedonnya. 

Rafael Alun Trisambodo, adalah salah satu mantan pejabat Ditjen pajak yang saat ini tersorot oleh media. Efek domino dari kasus penganiayaan yang dilakukan anaknya, Mario Dandy menyebabkan  harta mantan pejabat Ditjen pajak ini sedang diusut oleh KPK. 

Berdasarkan laporan, LHKPN nya harta Rafael tembus Rp 56,1 miliar per 2021. Jumlah tersebut bahkan jauh di atas Direktur Jenderal Pajak Suryo Itomi sebagai atasan Rafael yang hartanya hanya Rp 14,4 miliar.(detik.com, 11/03/2023) 

Besarnya harta yang dimiliki Rafael ini tentu  kian menguatkan publik terkait dugaan adanya tindak abuse of power atau penyalahgunaan wewenang, pungli liar atau bahkan dugaan  pencucian uang. 

Sebab merujuk pada peraturan pemerintah (PP) Nomor 15 Tahun 2019 gaji semua pegawai di instansi pemerintah hanya berkisar Rp 1-5 juta dengan tunjangan sebesar Rp 2,5 juta, maka bagaimana mungkin Rafael mampu membeli barang barang mewah. Gaya hidup mewah ini, ternyata tidak terjadi pada Rafael saja namun tidak sedikit pejabat negara lainnya juga saat ini banyak yang memiliki gaya hidup hedon dan bahkan di anggap sebagai sebuah kenormalan di kalangan mereka pejabat negara. 

Maka menjadi sebuah kewajaran  jika publik mempertanyakan, dari mana para pejabat memenuhi semua kebutuhan gaya hidup hedonisnya? Maka tidak lain adalah tidak sedikit pejabat yang akhirnya melakukan tindakan korupsi. 

Gaya Hidup Hedon Buah Penerapan Sekulerisme dan Kapitalisme.

Sederet kisah para pejabat  pamer kekayaan atau flexing di sosial media sungguh sangat memprihatinkan. 

Jamak diketahui kondisi masyarakat Indonesia saat ini masih dalam pemulihan pasca pandemi. Bahkan di beberapa wilayah Indonesia, keterpurukan ekonomi kian nampak dirasakan oleh rakyat Indonesia hingga mencapai titik kemiskinan ekstrim. 

Ironisnya di tengah keterpurukan ekonomi tersebut tidak membuat empati pejabat negara muncul. Faktanya, kenyamanan yang diberikan oleh negara kepada pejabat justru sering disalahgunakan. Walhasil tidak sedkiit dari mereka yang justru kebablasan.

Ya, inilah buah penerapan sistem kapitalis yang berasaskan sekuleris. Perlu kita sadari alam kapitalis yang saat ini diterapkan di Indonesia telah di setting untuk membentuk karakter seseorang berpikiran materialis, sekuleris, dan kapitalis. Akibatnya muncul individu individu yang minim empati, minus jiwa sosial sekaligus minus iman. Semua ditabrak ‘korupsi, pungli” tanpa peduli halal dan haram. 

Sistem sekulerisme juga mengarahkan penganutnya memisahkan agama dari kehidupan, sehingga tidak ada Tuhan dalam kehidupan umum mereka. Mereka lebih menuhankan harta dan tahta. Mereka menjadikan uang, materi adalah segalanya, menjadi sumber kebahagiaan. 

Kebahagiaan hidup mereka hanya ditujukan untuk mengagungkan kepuasan hidup dengan materi tanpa ada henti. Bahkan dianggap sebuah kenormalan saat berusaha tampil  dengan gaya hidup hedonnya. 

Bahaya Gaya Hidup Hedon dan Flexing.

Gaya hidup hedon bukanlah sebuah tindakan yang mencerminkan kesahajaan. Gaya hidup hedon adalah pemujaan terhadap syahwat, kesenangan, kebahagiaan, kepuasan dan kecintaan didasarkan hanya pada keinginan manusia yang tidak ada batasnya bukan kebutuhan yang terbatas. 

Jika seseorang telah terjangkit gaya hidup hedon, kemudian dengan segala upaya berusaha untuk memenuhinya meski didukung finansial atau tanpa finansial maka bisa berakibat fatal. 

Jika individu memiliki finansial, maka gaya hidup hedon yang ditempuhnya demi sebuah pengakuan sosial lingkungannya memang bisa membuatnya puas namun bersifat sesaat. Setelah itu individu tersebut akan berusaha lagi memenuhi apa saja yang ingin dimilikinya dan dibelinya tanpa memandang apakah itu berlebihan atau mengumbar nafsunya. Jelas ini berbahaya ibarat sudah menjadi racun atau drug yang membuat candu. Akibatnya justru membuat dia kehilangan jati dirinya bahkan menjadi sosok yang telah kehilangan empati dan sense of crisis. 

Berbeda dengan individu yang tidak di dukung finansial. Untuk mewujudkan gaya hidup hedonnya, dia bisa kalap mata. Semua cara ditempuh tanpa mengenal halal dan haram. Bahkan yang mengerikan, bisa meningkatkan tindak kriminal yang  membuat kehidupan ekonomi sosial kacau hanya demi perolehan harta yang tidak wajar. Jelas hal ini sangat membahayakan. 

Peneliti pusat kajian anti korupsi fakultas hukum universitas Gadjah Mada, Zaenur Rahman menyatakan hedonisme pejabat tak hanya melanggar kode etik namun juga mendorong terjadinya korupsi. Bahkan bisa menimbulkan kecurigaan publik terkait sumber penghasilan pejabat yang diduga tidak sah dan melanggar hukum.

Apalagi Flexing atau pamer kekayaan dari seorang pejabat negara di sosial media jelas tindakan brutal bisa mencederai kepercayaan dan melukai perasaan rakyat. Betapa tidak, ruang media sosial yang seharusnya digunakan oleh pejabat negara untuk kegiatan kebermanfaatan memproduktifkan rakyatnya ke arah kemajuan malah di salah gunakan untuk ajang ruang pamer kekuasaan dan kekayaan kepada rakyat, jelas hal ini sangat sangat tidak pantas. Selain itu, bisa menimbulkan rasa iri bagi ASN lain yang juga belum sejahtera dan justru memperbesar jurang kesenjangan. 

Sosok Ideal Pejabat Berkarakter Kuat.

Idealnya seorang pejabat negara harus tampil menjadi sosok yang patut diteladani karena kesederhanaannya. 

Seorang pejabat dipilih oleh rakyat untuk mengampu amanah dengan mengedepankan kapabilitas, kinerja dan komitmennya bukan menonjolkan penampilan hedon demi sebuah pengakuan diri dalam lingkungan sosialnya. 

Seorang pejabat yang menyalahi wewenangnya atau korupsi untuk menopang gaya hidup hedonnya  jelas sebuah kejahatan. Pelakunya layak mendapat hukuman berat. Karena selain merugikan uang negara juga merusak stabilitas perekonomian negara. 

Untuk itu, negara perlu memiliki ketegasan sanksi. Hukum yang berlaku tidak tumpul ke atas namun tajam ke bawah. Hukuman yang menjerakan pantas ditegakkan atas tindakan ghulul (mengambil harta yang bukan miliknya). 

Gaya hidup hedon harus diputus mata rantainya demi tata kelola keuangan pemerintahan yang sudah semestinya digunakan  untuk kesejahteraan rakyat.  

Seorang pejabat kelak akan diminta pertanggungjawaban jawaban atas manah yang diembannya. Berkacalah kepada kesederhanaan Rasulullah SAW Muhammad sebagai seorang pemimpin, hidup sederhana dan takut akan dosa. 

Kesejahteraan rakyat harus menjadi prioritas utama dan jangan sampai ada satupun  individu rakyat yang kelaparan atau nestapa  akibat kedzaliman atau ketidak adilan dalam sikap kepemimpinan pejabat. Sebab jika itu terjadi, sungguh peradilan Sang Maha Kuasa lebih adil atas perbuatan hamba-hambaNya. Wallahu’alam bishshawab.

Tentang Penulis : Ulfatun Ni’mah adalah seorang Pendidik di Blora/Cepu

*Opini di atas merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab Bloranews.com.