BLORANEWS – Baru-baru ini terdengar santer apa yang dikatakan Bu Megawati tentang pengajian. Beliau memohon maaf kepada ibu-ibu yang terlalu rajin mengikuti acara pengajian. Kita semua tau dan sadar betul bahwasannya jamaah pengajian yang paling besar adalah dari jamaah NU, dan ini tidak menutup kemungkinan jamaah NU itu sendiri berangkat dari anggota partai PDI P. Permohonan maaf dan permohonan untuk tidak dibully terhadap apa yang disampaikan Bu Mega sebenarnya memang masuk akal. Mengingat pada umumnya kegiatan pengajian yang diikuti tidak membawa nilai tambah apa-apa terhadap para jamaah, kecuali nilai ibadah dengan imbalan pahala tidak lebih.
Pada umumnya pengajian diisi dengan kegiatan yang bersifat ceremonial dan rutinan. Seperti bacaan Yasin, tahlil, manakib, sholawat, nariyah dan sejenisnya yang diniatkan untuk menjalin hubungan vertikal kepada Tuhan. Memang ini tidak berdampak buruk pada masyarakat, tapi waktu yang diluangkan untuk pengajian akan sia-sia manakala tanpa di imbangi dengan isi wacana positif lainnya seperti pemberdayaan, atau diskusi sosial yang sedang terjadi di lingkungan lokal setempat.
Perlu kita ketahui bahwa masalah yang sedang dihadapi oleh bangsa ini sangatlah berat. Pemerintah butuh dukungan, masukan serta kontrol langsung dari rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Apabila sebagian dari kita rakyat kecil bisa ikut andil dalam upaya kemajuan bangsa, hal ini bisa menjadi jadi energi positif dan akan menular ke seluruh masyarakat Indonesia.
Hujatan, ledekan, bullyan secara otomatis tertuju pada Bu Mega tidak bisa dihindari lagi, meskipun apa yang dimaksud beliau sebenarnya benar adanya. Daripada waktu terbuang percuma mending dipakai untuk kegiatan positif lainnya. Kita semua tau, banyak juga ormas keagamaan yang bisa memberikan kontribusi konkrit pada masyarakat kelas bawah terutama kaum marginal. Bisa menggolkan perda, perbup bahkan UU untuk kemaslahatan umat. Seperti apa yang dilakukan jamaah kristiani di luar Jawa, misal Ambon dan Kalimantan. Mereka para pendeta selain berdakwah juga melakukan kegiatan sosial kemasyarakatan dan tentu membawa dampak signifikan para pemangku kebijakan.
Bagi orang yang faham karakter Bu Mega, beliau memiliki sifat ceplas ceplos, bicara apa adanya dan tidak suka basa basi, dan terkadang membuat lawan bicaranya tersinggung. Pada prinsipnya apa yang mau disampaikan Bu Mega semuanya mengandung makna positif. Karena beliau juga orang Islam, sering juga mengikuti acara pengajian. Sehingga beliau tau persis kebiasaan yang ada di acara pengajian.
Pesan yang mau disampaikan beliau sebenarnya adalah tidak jamannya lagi pengajian hanya diisi dengan ritual mengaji saja tetapi bisa diisi dengan pemberdayaan serta wacana positif lainnya. Ini yang kita kenal dengan istilah ngaji sosial.
Berangkat dari pengalaman Fatayat Blitar yang kebetulan para anggotanya memiliki pengalaman organisasi NU, mereka secara kompak mengelola sistem organisasi tidak hanya sebatas formalitas. Organisasi ini dimaknai untuk mengabdikan diri pada agama dan negara dengan upaya pendampingan dan pemberdayaan masyarakat. Seiring kegiatan rutin mengaji, diselingi pula kegiatan pemberdayaan, contohnya latihan memasak, menjahit, dan karya-karya lainnya.
Disamping pemberdayaan, anggota Fatayat dibekali ilmu pengetahuan umum tentang isu lokal, nasional, wacana gender, isu kekerasan sexual, kekerasan dalam rumah tangga serta ilmu untuk kemaslahatan keluarga. Yang kesemuanya itu tentu bisa dipakai bekal presentasi dalam kegiatan di pengajian.
Harusnya kita malu terhadap Sahabat Fatimah Asri Mutmainah yang merupakan ketua PC Fatatat Lasem. Beliau penyandang difabel yang terpilih menjadi ketua Fatayat dan kini terpilih menjadi anggota KND (Komisi Nasional Difabilitas) Perjuangannya kini membuahkan hasil, bersama rekan-rekannya berhasil membuat membuat kebijakan bagi kaum disabilitas.
Sedari awal kita menyadari bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia beragama Islam. Fenomena pengajian sudah tidak asing lagi di kalangan umat Islam.
Sedari awal kita menyadari bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia beragama Islam. Fenomena pengajian sudah tidak asing lagi di kalangan umat Islam. namun akan menjadi percuma apabila keberadaan pengajian sebagai media dakwah yang belum bisa menggerakkan jiwa nasionalis kita. Jadi, sebagai generasi muda mari kita mulai ngaji yang sebenarnya yaitu ngaji Quran Hadist dan diterapkan di kehidupan sosial masyarakat. Sehingga bisa ditarik kesimpulan, ngaji kita adalah ngaji tekstual (Qur’an dan Hadist) dan kontekstual (terapan ke sosial).
Tentang penulis: Siti Lestari adalah mantan ketua PC PMII Kabupaten Blora yang saat ini aktif mengelola Lembaga Pendampingan dan Pemberdayaan (Perempuan) Kinasih.
*Opini di atas merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab Bloranews.com.