Dunia pendakian saat ini jelas sangat tidak jalas. Bingung kan? Mulai dari pendakian konvensional, ultra light, bushcraft, trail run, dan yang terbaru ada tektok.
Sebenernya, tektok bukanlah teknik baru dalam dunia pendakian. Sejak dulu udah ada, cuma sekarang lagi viral dan banyak banget yang ikut-ikutan. Tektok sendiri sederhananya naik-turun gunung dalam waktu singkat, biasanya tanpa bermalam. Tapi yang jadi persoalan adalah banyaknya pendaki fomo yang nggak paham stamina, logistik dan cuaca, tapi nekat aja ikut tren.
Di Blora sendiri aja peningkatan jumlah pendaki kerasa banget. Dulu orang datang ke basecamp Kandang Pendaki ya palingan di hari Jumat atau Sabtu atau pas hari libur. Tapi sekarang? Sewaktu-waktu selalu ada aja yang datang. Dan parahnya, minat mendaki ini seringkali nggak diimbangi dengan kesiapan fisik dan pengetahuan dasar pendakian.
Ada yang berangkat tanpa olahraga dulu, nggak pernah latihan fisik, langsung naik gunung. Bahkan buat sewa alat atau beli perlengkapan pun ogah. Naik gunung cuma modal niat sama feed dan reel Instagram. Padahal resiko di jalur pendakian tuh nyata dan berat. Kalo cuaca buruk, salah langkah, atau nyasar udah, tinggal nunggu berita evakuasi dan jadi terkenal karena di posting akun akun pendakian.
Dan bener aja, tiap minggu ada saja berita viral soal evakuasi pendaki. Dua remaja pingsan di tengah jalur Gunung Lawu karena maksa tektok tapi kelelahan dan harus dibawa turun pakai tandu. Belum lagi kasus lima pendaki tektok Gunung Lawu yang alami hipotermia di Pos 3 dan dievakuasi dengan sigap oleh tim SAR karena tak siap menghadapi cuaca dingin dan kurang persiapan logistik. Ini baru satu gunung belum gunung yang lain.
Ini bukti nyata bahwa naik gunung bukan sekadar foto-foto puncak. Yang bikin miris, banyak dari mereka yang ngandelin tim SAR kayak tukang ojek, minta dijemput di titik mana, seakan naik gunung itu kayak order makanan online. Tanpa sadar, mereka nambah beban buat relawan, bahkan bisa membahayakan tim penyelamat.
Fenomena ini bukan cuma soal gaya pendakian, tapi soal budaya instan yang merambah ke alam bebas. Naik gunung sekarang udah jadi ajang konten, yang penting bisa upload foto di puncak untuk validasi. walau jalannya ngos-ngosan, peralatannya ngasal, dan ilmunya nihil.
Harusnya, naik gunung itu bukan buat gagah-gagahan. Tapi buat belajar rendah hati, memahami alam, dan ngukur batas diri. Bukan cuma ikut-ikutan tren. Kalau memang niatnya serius mendaki, ya siapkan fisik, perlengkapan, dan pengetahuan. Bukan cuma modal feed Instagram
Tentang penulis : Alifianto Adhi, akrab disapa Alip Bengkong, adalah pendaki sekaligus owner Kandang Pendaki.
*Opini di atas merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab Bloranews.com.






