fbpx

PESANTREN: TELADAN GAYA HIDUP

Opini
Ilustrasi

BLORANEWS – Asumsi kebanyakan masyarakat, tujuan pesantren hanyalah sebagai tempat penitipan putra putri mereka dalam mencari bekal ilmu agama. Selain itu pesantren dianggap sebagai bengkel dalam membenahi anak yang dirasa nakal, susah di atur, bandel sehingga orang tua ahirnya menitipkan anaknya di pondok pesantren. Dengan harapan pasca keluar dari pondok, si anak bisa berubah lebih baik dan menjadi putra putri yang sholeh dan sholehah.

Perlu diketahui, sesungguhnya pesantren pada hakekatnya sebagai respon dari realitas sosial yang ada. Artinya disini jawaban dari segala persoalan di masyarakat bisa dipelajari dan di praktekkan langsung di pesantren. Realitas sosial tersebut merupakan kehidupan nyata yang terjadi di masyarakat. Sehingga bisa disimpulkan antar pondok pesantren memiliki kebiasaan yang berbeda-beda.

Selain itu, pondok dipakai sebagai media penggemblengan mental bocah supaya patuh terhadap aturan pondok. Disitu para kyai memberikan contoh yang baik dalam berperilaku setiap hari. Kebiasaan yang baik tersebutlah yang kemudian dipraktekkan langsung setiap hari selama di pondok dan tentu akan terbawa sampai anak keluar pondok.

Kebanyakan pondok pesantren yang dibangun saat ini tidak lagi berangkat dari ide kemandirian pesantren. Para pendiri pondok menggunakan dana bantuan pemerintah ataupun swasta untuk membangun, sehingga ghiroh ngaji dalam semua bidang ilmu menjadi hilang lantaran para kyai pondok pesantren beserta pengurusnya secara profesional mendapatkan gaji yang dikelola yayasan pesantren.

Kalau kita merujuk kalimat di awal, bahwasannya keberadaan pesantren sebagai respon dari realitas sosial yang ada, namun lantaran pesantren saat ini jauh berbeda dengan pesantren dahulu, membuat para santri tidak bisa menjawab realitas sosial masyarakat. Di asrama mereka hanya ditugaskan untuk belajar, hafalan Qur’an, mendalami ilmu hadist, serta ilmu-ilmu Islam lainnya.

Pesantren yang sesungguhnya tidak ada yang namanya kurikulum. Semua yang diajarkan di pesantren bersifat praktek dan bil khal atau istilah sederhananya gaya hidup, yang lantas membuat masyarakat tertarik dengan gaya hidup yang diterapkan disitu. Kurikulum hanya berlaku untuk sekolah formal, termasuk pesantren modern yang disitu sudah menerapkan sistem pendidikan formal. Tentunya ini berlawanan dengan orientasi pesantren sesungguhnya.

Coba kita lihat pesantren salaf Al-Ridwan yang ada desa Tutup Dk. Sukorame Tunjungan Blora, mereka menerapkan gaya hidup ala pesantren. Pengasuh Pondok pesantren KH. Rohmad Ridwan tidak mengikuti kurikulum pemerintah dalam mengajar. Di pondok, beliau hanya menerapkan gaya hidup pesantren dengan mengajarkan ilmu salaf serta ilmu sosial masyarakat. Karena tempat pesantren berada di tengah masyarakat, maka para santri di tuntut untuk belajar menyesuaikan diri dengan lingkungan. Semua masalah yang ada di masyarakat bisa di pelajari dan dijawab secara gotong royong oleh para santri yang tentunya tidak lepas dari bimbingan pengasuh pondok pesantren. Kegiatan yang langsung bersinggungan dengan masyarakat lokal contohnya acara kematian, sholat Jumat, pengajian, pembangunan masjid, Qurban, Khoul, serta yang lainnya, serta merta langsung direspon secara aktif oleh pondok pesantren.

Sebenarnya dibandingkan dengan pendidikan formal, pesantren lebih memiliki nilai plus. Mata rantai keilmuwan yang dipelajari di pesantren benar-benar bisa terjaga kemurniannya. Ketika santri belajar ilmu agama Islam, yang menjadi landasan utama adalah Qur’an dan hadist, mereka bisa memberikan ide ataupun gagasan tanpa meninggalkan asbabun nuzul yang ada. Sehingga bisa diambil kesimpulan bahwa di pesantren manapun akan mengajarkan ilmu agama yang sebenar-benarnya untuk bekal hidup di dunia dan akhirat.

Sedangkan nilai dari pendidikan formal pada kenyataannya hanyalah menciptakan seorang buruh. Karena tanpa pendidikan formal mereka tidak akan mungkin mendapatkan ijazah yang bisa dipakai untuk melamar pekerjaan. Pekerja dengan bekal ijazah inilah yang setiap hari di ciptakan oleh sekolah formal.

Lantas siapa yang memiliki posisi sebagai pengusaha? Tidak lain tidak bukan mereka yang justru tidak menggunakan/tidak punya ijazah. Kemandiriannya bisa terbangun karena pengalaman yang terasah. Dan salah satunya seorang jebolan pesantren lah yang dibekali segudang ilmu untuk keduniawian. Mereka tidak memerlukan ijazah lagi untuk bekal hidup di dunia.

Seperti apa yang disampaikan oleh Bapak Mentri Pendidikan kita tentang kurikulum merdeka, memiliki pengertian pendidikan yang menggunakan prinsip kemerdekaan yang sudah sejak lama di tetapkan oleh ajaran pesantren. Gelar apapun yang diperoleh dari pendidikan formal akan menjadi percuma tanpa adanya ilmu dan pengalaman lapangan. Kunci dari kemajuan bangsa bukan terletak pada seberapa banyak orang yang memiliki gelar, tetapi lebih pada kontribusi kongkrit yang dilakukan untuk membangun bangsa.

Tentang penulis: Siti Lestari adalah mantan ketua PC PMII Kabupaten Blora yang saat ini aktif mengelola Lembaga Pendampingan dan Pemberdayaan (Perempuan) Kinasih. 

*Opini di atas merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab Bloranews.com.