BLORANEWS – Sudah menjadi sesuatu yang lumrah terjadi ketika dalam pemilu, para politisi membutuhkan dana yang tidak sedikit untuk pemenangan partai, terutama pemenangan caleg, bupati, gubernur dan presiden. Masyarakat dibuat bosan dengan janji-janji manis mereka yang mau maju diajang kontestasi politik. Janji muluk- muluk yang diucapkan sebelum mereka jadi, tidak sebanding dengan pencitraan ketika para calon berkampanye.
Akibatnya masyarakat semakin pragmatis terhadap keadaan yang terjadi, sehingga memicu tingginya cost politik dalam proses pemilu. Di tiap daerah pemilu sudah kelihatan jumlah pemilih tetapnya dan mereka yang menjadi tim pemenangan pasti akan di perintahkan para calon untuk mengkondisikan massa. Salah satunya dengan memberikan imbalan uang untuk memilih calon yang sudah ditentukan oleh tim sukses.
Apalagi munculnya para botoh, membuat pemilu semakin rusak. Demokrasi yang berangkat dari masyarakat murni dikotori oleh para botoh yang siap membiayai proses pemilu. Banyak sekali para cukong yang menitipkan dana politik dengan tendensi supaya para calon tunduk patuh terhadap para botoh. Misalnya dalam pengambilan kebijakan, pasti botoh akan intervensi demi kepentingannya terhadap kebijakan yang menguntungkan dirinya.
Dengan adanya botoh muncul semacam politik balas budi sebagai implikasi pembiayaan politik yang tinggi. Akan menjadi percuma ketika keputusan MK besok, baik menggunaan sistem politik terbuka ataupun tertutup, kalau eksistensi botoh masih diperlukan. Keberadaan botoh dibutuhkan bagi para calon yang haus kekuasaan, haus eksistensi dan mereka sebenarnya tidak memiliki uang pribadi untuk cost politik.
Alternatif yang bisa ditawarkan untuk menekan angka politik uang adalah dengan cara pengambil alihan cost politik oleh pemerintah. Semua partai bisa secara adil mendapatkan biaya politik untuk kebutuhan masing-masing. Seperti apa yang disampaikan Fahri Hamzah tentang pengusulan gagasan supaya pemerintah dalam hal ini kementrian keuangan dan kementrian dalam negri bisa membuat regulasi tentang kampanye dan partai.
Namun seperti apa yang kita lihat saat ini, tentang gagasan Fahri Hamzah dimentalkan oleh pemerintah. Realisasi di masyarakat masih tetap saja para botoh menjadi raja dari sistem demokrasi di negri ini.
Fenomena yang terjadi ditingkatan pusat hingga lokal adalah sama. Apalagi Blora yang memiliki penduduk sedikit serta SDM yang rendah membuat mereka enggan berteriak lantang menentang ketidak adilan yang terjadi dikota tercinta. Blora yang dikenal dengan SDA minyak, gas serta kapur masih saja menjadi kota termiskin di nomor 13 se-Jawa tengah.
Kita sebagai rakyat kecil tidak ubahnya seperti robot yang kapan saja bisa disetting dan dimainkan oleh para pemangku kebijakan. Oleh karena itu, sudah saatnya rakyat bangun dan sadar bahwa demokrasi di Indonesia tidak bisa dibeli dengan uang.
Sistem politik uang yang kita terapkan sampai saat ini merupakan keniscayaan dari sistem demokrasi. Siapapun yang terpilih, mereka bukanlah wakil rakyat tapi budak para pemodal.
Tentang penulis: Siti Lestari adalah mantan ketua PC PMII Kabupaten Blora yang saat ini aktif mengelola Lembaga Pendampingan dan Pemberdayaan (Perempuan) Kinasih.
*Opini di atas merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab Bloranews.com.