fbpx

PULUHAN TAHUN, PASUTRI DESA TEMUREJO BERTAHAN JADI PERAJIN BATU BATA

Perajin baru bata di Desa Temurejo, Kecamatan Blora, Kabupaten Blora.

Blora, BLORANEWS – Pasangan suami istri (pasutri) Sukiban (60) dan Uliyah (58), warga Dukuh Weru RT 02/01 Desa Temurejo, Kecamatan Blora, Kabupaten Blora bertahan menekuni profesi menjadi perajin batu bata.

Pasutri itu mengaku membuat batu bata sebagai mata pencaharian utama untuk menghidupi keluarga sejak 20 tahun lalu.

“Saya sama istri nyetak batu bata secara manual, sejak 20 tahun lalu sampai sekarang,” kata Sukiban, Selasa (30/5/2023).

Suka dan duka dijalani berdua, berpindah di sejumlah lokasi dilalui tanpa mengenal putus asa. Harapannya batu bata yang dibuat bisa laku terjual meski kondisi saat ini harus bersaing dengan herbel (bata ringan yang terbuat dari adonan gypsum, pasir silika, semen, air batu kapur, dan aluminium bubuk, red).

“Saya membuat batu bata ini sudah pindah beberapa kali lokasi, lahannya sewa. Harga sewa lahan diperhitungkan saat batu bata sudah laku terjual. Penjualan batu bata merosot, kalah sama herbel,” ungkapnya.

Sukiban menjelaskan, saat ini bersama Uliyah istrinya, mampu mencetak batu bata dari tanah liat sebanyak 15.000 biji selama dua bulan.

Pada musim kemarau saat ini, kata Sukiban, terbantu oleh terik matahari dalam proses pengeringan batu bata yang rampung dicetak.

“Semampunya tenaga saya dan istri, hanya saja penjualannya gampang-gampang susah,” ucapnya.

Ia mengaku, harga batu bata merah yang sudah dibakar dan siap pakai Rp400.000,00 per 1.000 biji. Sementara, jika 15.000 biji batu bata laku terjual semuanya, dikalkulasi memperoleh uang Rp6.000.000,00.

“Itu kalkulasinya, hanya lakunya tidak bersamaan, karena pembeli kebutuhannya beda-beda. Ada yang 1.000 atau 2.000 biji. Dari jumlah penjualan itu masih dipotong untuk sewa lahan dan beli sekam padi untuk pembakaran,” jelasnya.

Sejak awal tahun hingga penghujung Mei 2023, kata Sukiban, batu bata buatannya rata-rata laku terjual 2.000 hingga 3.000 biji per bulan.

Sukiban dan Uliyah mempunyai tiga orang anak. Dua diantaranya sudah bekerja, sedangkan satu anaknya masih sekolah di salah satu SMP Negeri di Blora. Pasutri itu mengaku tidak punya keterampilan lainnya untuk menambah penghasilan.

“Sawah tidak punya, jadi tidak ada penghasilan lain, selain bertahan membuat batu bata,” kata Uliyah, istrinya yang setia mendampingi suami membuat batu bata.

Uliyah menceritakan kenal dengan Sukiban ketika dahulu sama-sama bekerja pada perusahaan konveksi di Jakarta.

“Saya dulu di bagian obras konveksi, mau mengembangkan usaha jahit pakaian di Blora, sudah banyak saingannya. Saya sendiri asli dari Jakarta. Sekarang ya setia dampingi suami buat batu bata,” ucapnya sambil mencetak batu bata.

Keduanya mengaku selama ini belum pernah mendapatkan bantuan permodalan dari pemerintah. Hanya saja saat pandemi Covid-19 mendapat bantuan uang sebesar Rp600.000,00 selama tiga kali dari dana desa setempat.

Sementara itu Kepala Desa Temurejo Kasmuriyato mengemukakan ada sekitar 15 perajin batu bata di wilayah setempat yang masih bertahan hingga saat ini. Mereka berada di sejumlah dukuh seperti Krabyakan, Temon dan Weru.

“Kami terus mendorong para perajin batu bata dan membantu memasarkan melalui media sosial. Suka dan duka orang usaha selalu ada. Tapi yang jelas produksi batu bata dari desa Temurejo tidak kalah bersaing baik harga dan kualitasnya,” ungkapnya. (Dinkominfo Blora).