fbpx

SEJARAH AWAL JIPANG DAN NGLORAM

SEJARAH AWAL JIPANG DAN NGLORAM
Prasasti Maribong.

BLORANEWS – Gambar diatas merupakan bukti tertulis pertama yang dapat dijadikan petunjuk tertua dan sebagai awal kesejarahan Jipang, yakni ditemukannya satu lempengan tembaga berupa 6 baris tulisan dengan huruf Jawa kuno pada salah satu sisinya. Lempengan tersebut adalah Prasasti Maribong.

Adapun pembacaan huruf dalam Prasasti Maribong meliputi:

1. // awighnam astu // swasti srl sakawarsatita. 1170. asujimasa. tithi. pancami suklapaksa. wa
2. ka. wr. wara. lankir. uttarasadhanaksatra. wiswa dewata. mahendra mandala. gandayoga. waira
3. jyamuhurtta. barunaparwwesa. walawakarana. mrcchika rasi. irika diwasa nyajna sri sakalakhalana
4. kulamadhumarddana kamaleksana. namabhiseka sri jayawisnuwarddhana. sang mapanji smi ning rat). swapi
5. tamahastawanabhinnasrantalokapalaka. kumonaken irikang wanwa i maribong watek atagan jipang.
6. pagawayakna sang hyang ajna haji prasasti. matanda sri jayawisnuwarddhana lancana. umunwe salah siki ning tamra ri

Yang artinya:

“Salam, tahun sri saka 1170 bulan Asuji, pada hari yang baik, tanggal 5 paruh cahaya bulan, pasaran Kliwon, Kamis wuku Langkir, konstelasi Uttarasada, dewa Wiswa, pada lingkaran Indra dalam persatuan dengan Ganda-yoga, dari bagian Wirajya, bersimpul Kuwera, saat matahari karana Walawa dan pada rasi bintang Kalajengking.”

Ini adalah tanggal Maha Raja penghancur ras jahat yang bereinkarnasi dari iblis Madhu, sang Mata Teratai, Raja yang diberkati atas nama Raja Jayawisnuwardhana, Panji Smining Rat, sang Pelindung tanah yang tak terbagi dan tanah yang damai berkat kakeknya: “Memerintahkan bahwa untuk dusun Maribong, yang berkewajiban dibawah Jipang, harus dibuat keputusan kerajaan, ditandai dengan lencana Jayawisnuwardhana, pada plat tembaga bertulis atau diatas batu.”

Prasasti Maribong atau Trowulan II (Prasasti Koleksi Museum Nasional, 1986 :117), dikeluarkan oleh Kerajaan Singhasari dengan angka tahun 1170 (seharusnya 1186 Saka = 28 Agustus 1264 M). Pada baris ke-5 menerangkan bahwa Maribong, yang merupakan daerah bawahan Jipang dinobatkan menjadi sebuah daerah sima swatantra oleh Raja Sri Jaya Wisnuwardhana. Alasan penobatan ini tidak disebutkan secara langsung, tetapi kemungkinan besar berhubungan sebagai tempat para Brahmana atau Empu, yang telah membantu kakek Wisnuwardhana menyatukan Jawa.

Sebuah kebenaran lain yang bisa didapat adalah bahwa Raja Wisnuwardhana juga bergelar Panji Semining Rat, sebuah nama yang kemudian juga dipakai oleh Kertawardhana, ayah dari Raja Hayam Wuruk, raja paling berkuasa di Nusantara. Sehingga sepertinya Raja Majapahit ini juga mengambil semangat Wisnuwardhana (dan juga kakeknya) untuk menyatukan seluruh Jawa. Naskah Negarakertagama juga menyebut bahwa Sri Ranggah Rajasa dianggap sebagai leluhur dari raja-raja Majapahit, yang telah berhasil menyatukan Jawa dan mendirikan sebuah Kerajaan baru bernama Tumapel.

Penyatuan Jawa yang dimaksud adalah penyatuan dua Kerajaan Jawa, Jenggala dan Kediri. Dan menurut Negarakertagama, atas nama kedamaian Jawa dan sesuai arahan Raja Erlangga, pernah dipisahkan oleh kesaktian Empu Bharada.

Karena Jayawisnuwardhana sangat menghormati dan menjadikan Merbong sebagai wilayah istimewa untuk urusan spiritual keagamaan, maka para Brahmana Buddha atau Mpu yang membantu Sri Ranggah Rajasa seharusnya berada di wilayah Maribong, dimana saat itu masih menjadi wilayah kekuasaan Jipang.

Desa Maribong dalam prasasti berlokasi di dusun Merbong, sebuah dusun yang berada persis di seberang desa Ngloram (sekarang). Di desa Ngloram terdapat reruntuhan struktur batu bata dengan jumlah terbesar di sepanjang Bengawan Solo, yang mengingatkan kita kepada sebuah peradaban kuno.

Hal itu tersebut dalam prasasti Pucangan baris ke-5. Berbunyi:

n hana ista prarthana sri maharaja ri kala ning pralaya ring yawadwipa, irikang sakakala 938 mra — — haji wurawari an wijil sanke lwaram, ekarnawa rupa nikang sayawadwipa rikang ka

Diterangkan bahwa telah terjadi pralaya besar di awal abad 11, tahun 938 Saka atau 1017 Masehi, dan seorang Aji Wurawari yang berasal dari daerah Lwaram telah mengambil peran terpenting ketika seluruh Jawa diaduk menjadi lautan susu. Dia bahkan menjadi kambing hitam kematian sang Raja ditengah pralaya, walau sebetulnya banyak kemungkinan yang bisa saja terjadi.

Karena wora berarti awor atau campur dan wari sama dengan warih, yang berarti keturunan darah, Wurawari bisa dimaknai sebagai “keturunan darah campuran”, sehingga Aji Wurawari dapat berarti raja vasal berdarah campuran (alkulturasi siwa-budha?) yang muncul di “asrama” Lwaram.

Jika Lwaram yang disebut itu adalah Ngloram, maka wilayah ini, sebagaimana Merbong, besar kemungkinan adalah wilayah perbatasan dua kerajaan, yang dalam periode itu adalah antara Kerajaan Medang Kuno dan Medang Jawa Timur, sebelum kelak disatukan oleh Raja Erlangga menjadi kerajaan Kahuripan.

Lwaram sudah pasti juga menjadi penentu keberhasilan Raja Erlangga. Tetapi apakah Aji Wurawari yang berasal dari daerah kaum Brahmana Buddha (seperti halnya Mpu Bharada), benar-benar menyerang dan membunuh Raja Dharmawangsa Teguh di kerajaan Medang? Samar-samar kita akan mendengar kesamaan tentang berita ini, 5 abad berikutnya, pada kisah Sunan Ngudung yang menyerang Brawijaya di Kerajaan Majapahit.

Tentang penulis: Totok Supriyanto merupakan pemerhati sejarah dan budaya. 

*Opini di atas merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab Bloranews.com