fbpx
OPINI  

SI PELIPUR LARA YANG MENINGGAL

SI PELIPUR LARA YANG MENINGGAL-min
ilustrasi : picasso

“Bagaimana bisa mereka sekarang jadi tua bangka?” tanyaku pada wulan, teman sejak pertama lahir ke dunia. Kata ibu, dia lahir beberapa jam setelahku, setelah matahari turun dari pukul dua siang.

“Kau pikir saja, bagaimana jadinya kalau mereka tidak menua dan tetap usia muda. Bukankah kau akan menikahi salah satunya? ” jawabnya dengan mengunyah limpang-limpung. Pipinya mengembang seperti balon sedang ditiup.

 

SI PELIPUR LARA YANG MENINGGAL-min
ilustrasi : picasso

 

Aku bukan bodoh tidak mengerti pertumbuhan manusia, namun aku masih tidak habis pikir bagaimana perubahan yang berubah tampak menjadi tak tampak. Apakah saat mereka paruh baya, sebelum tuek teklek, atau bahkan baru satu atau dua helai rambut uban mereka tumbuh, apakah saat itu aku sedang tidur atau sedang melamun atau sedang mengigau, atau hal tak sadarkan diri lainnya? Bagaimana waktu yang sama dan berjalan seirama matahari, bisa menjadi manusia menjadi wujud lain? Ah. Pagiku betul membuatku menarik nafas panjang. Kulihat mereka berjalan satu-satu, ada yang mengayuh sepedanya dengan otot dan tulang kaki yang menonjol tanpa lapisan daging. Ada yang sudah tertatih, berjalan saja merambat pelan, saat mengangkat telapak kaki takut kalau-kalau terinjak kerikil atau ranjau kucing. Tua sekali mereka.

“Tak sempat terlintas di benak saya untuk menikahi salah satu dari mereka, meskipun dulu, saat mereka masih membawa serdadu di Kampung Baru menembak para polisi patroli, tampak begitu mengagumkan dan membuat saya ingin bersama barang satu malam saja. Tak ada pikiran buruk untuk menikahi mereka, ”jawabku sambil terus mengikuti langkah-langkah kecil mereka yang belum juga hilang dari sejauh pandanganku.

“Kau tak bisa selamanya menganggap pernikahan adalah sebuah keburukan, Rum. Asal kau memiliki hati lapang, ketulusan itu tidak sekali jadi, yang benar saja ..! ” Tegas wulan sekali lagi. Bicaranya seperti orang keselek.

Kami terdiam. Untung saja di warung ini hanya kami berdua dan Mbah Marni pemilik warung. Jika tidak, ini akan menjadi yang lama sekali. Aku ingat betul, bagaimana orang-orang di kampung ini bisa sangat pandai bicara dan berdalih. Warung kecil seperti ini lah satu-satunya tempat suci, satu-satunya tempat yang tak boleh ada kegiatan seksual apapaun. Di tempat seperti ini, biasanya, orang-orang akan berdiskusi politik, polemik yang sedang mengudara di televisi dengan segela informasi dari pelanggan ASN atau bahkan para pejabat. Sesekali tema keluarga, pernikahan, kemiskinan, atau anak-anak kecil yang mati dehidrasi di Ibukota. Tapi itu sangat jarang. Hidup mereka disini untuk menyelamatkan diri dari empat hal itu. Ya, kami tidak akan banyak berbagi cerita dengan hal-hal yang akan menghancurkan hati kami.

“Menurutmu, mengapa mereka berdua masih disini? Apakah mereka juga ingin dimakamkan disini sekaligus? ” tanyaku lagi.

“Apalagi yang membuat para Gigolo tinggal kecuali mereka tak punya siapa-siapa di luar sana ?!” Kata Wulan dengan terus menerus tepung dan ketelanya, limpang-limpung tak selalu berada di semua orang. Tapi Wulan catatan seperti makanan pokok. Seolah-olah tak ditemukannya nasi beras atau nasi jagung.

“Ya, setidaknya dia tak menjadi pelacur selamanya. Lalu, punya pilihan lain, ”jawabku putus asa.

Entahlah, melihat mereka begitu saja dadaku terasa menyempit. Berkali-kali aku ingin menyadarinya, waktu lah yang selama ini membuat manusia menjadi tua bahkan tanpa menemukan dirinya telah berubah.

“Kau seharusnya tinggal juga, kau ganti posisi Ibuk yang sekarang diperebutkan banyak gigolo. Lalu menikah dengan Rian, dia selama ini membutakan matanya hanya untuk menghabisi para pejabat homo. Dia memang pelacur, tapi dia mencintaimu. Kau tau betapa cinta seorang pelacur itu melemahkan tiga kali dari cinta orang-orang berumah tangga? ”

“Sebagai mantan pelacur, kau betul-betul menjalankan dedikasimu dalam segala situasi. Wulan, apa yang sedang kau hadapi, begitu ibanya kau terhadap pensiunan wartawan seperti saya? ” tanyaku kembali.

“Mengapa tak kau coba sekali saja, Rum? Kau tak melihat Ibukmu kepayahan membangun kampung ini dengan sangat santun dan ramah anak? Kau akan begitu saja? Jika rumah dan kampung halamanmu diakusisi oleh pelacur sialan itu? ” Wulan kembali bertanya.

Aku membuka dada, menarik nafas dari mata hingga kepala.

Aku tak mengerti bagaimana ini semua bermula, tapi yang kudengar bahwa cepat atau lambat kampung ini akan segera berakhir. Sebentar lagi, yang mewakili polisi patroli seperti waktu aku muda 20 tahun lalu, tapi wartawan bayaran, dan juga sekelompok demonstran agamis. Atau entah bagaimana drama yang akan dibuat para Developper dan petinggi daerah untuk menghilangkan kampung ini. Sepintas aku teringat Muslih, yang tadi mengayuh sepeda dengan sekuat tenaga, tua sekali dia, kasihan betul. Apakah dia juga harus menyaksikan dirinya telah menderita penyakit menular seksual? Di usia yang tua itu? Malang sekali nasibnya.

“Pelacur sialan yang kau sebut, sampai kampung ini benar-benar hilang dari kabupaten Blora, dia tetaplah kakak perempuan saya, Wul. Biar saja tutup, biar saja Kehidupan seperti ini berjalan maunya Tuhan. Saya tahu, apa yang akan terjadi jika saya ikut campur. ” Jawabku sambil meneguk kopi dan sisa rokok separuh.

Wulan jadi diam. Diamnya seperti gadis perawan, polos dan penuh pertanyaan. Sialan!

“Lalu, Muslih? Atau dua lelaki tua yang kau sebut tadi, kemana kau berencana membawa mereka kalau kampung ini ditutup? Sampai batas mana masalah ikut campur dengan Tuhan kau putuskan? ” tanya Wulan. Suasana mendadak gerah.

Bahkan belum tiba waktu dimana kampung ini akan di usir dari dunia, ubunku sudah memanas. Dalam dadaku, banyak doa dan umpatan kepada Tuhan yang berebut keluar dari mulutku.

“Apa kau juga akan atau jendela rumah Pak Badri? Si Wabub tak tau malu itu? Benar kau akan membujuknya juga? ” Tanyanya lagi.

Aku tersenyum. Kami terdiam lagi untuk beberapa menit.

Mulutku ungkapan, kepalaku sesak mengurai jalan keluar. Sesekali aku memejamkan mata dan mematikan rokok. Cahaya merah terlihat dari kelopak mataku, seolah-olah itu adalah cahaya petunjuk. Radio menyala, siaran akan mendekati Kampung Awan terdengar nharing di telinga. Buru-buru wulan meminta meminta remote dan televisi tabung mbah Marni yang lebarnya hanya sejengkal tangan. Dia cari-cari berita serupa namun belum dia menemukan apa-apa di televisi.

“Wul! Sebelum tanggal lima belas bulan depan, kumpulkan semua teman-teman sebaya yang masih tinggal disini. Terserah, laki-laki atau perempuan, muda atau tua, tapi jangan anak-anak. Kumpulkan disini. Saya tak keberatam jika kampung ini suatu hari hilang. Tapi sebelum itu, dunia harus tau bagaimana Badri Suseno bekerja. Licik! ”

Wulan mengatupkan kedua bibirnya. Aku tak dapat membaca suara hati, namun dari kerutan kening dan tatapan matanya, Wulan tampak seperti orang yang bergemuruh di dada dan pikirannya. Dia diam dan menganggukkan kepalanya pelan-pelan, sesekali mengangkat gelas kopinya lalu dia letakkan kembali. Bahkan dia tak menanyai apa rencana yang kubuat. Atau, dia sudah penasaran lagi dengan langkah yang akan kuambil.

***

Dua hari lagi sebelum tanggal lima belas, berita penutupan Kampung Baru sudah berseliweran di Facebook dan Twitter. Politik di Daerah semakin menampakkan kebodohannya, mengapa penutupan lokalisasi dibuka lebar-lebar untuk konsumsi masyarakat, bahkan di facebook. Tampak sekali mereka menyewa Buzzer besar-besaran. Seolah-olah pengumuman kepada pelanggan untuk tawar-menawar harga sogokan, buka lelang, yang ujung-ujungnya tetap ditutup. Aku tak pernah jadi pelacur, namun aku tumbuh dan tua bersama mereka. Benar kata Wulan, betapa cinta seorang pelacur, seorang saja, bisa tiga kali lipat orang biasa. Sementara aku, mereka semua adalah keluargaku. Berapa kali lipat yang harus kuhitung bahwa cinta mereka yang merawatku menjadi sekarang. Ya, sekarang adalah waktu paling tepat kusebut diriku telah merdeka! Merdeka dari rasa takut dari luar diriku yang membuatku merasa tak pantas hidup. Cinta dari para pelacur membuatku demikian, hidup dalam kemerdekaan diri.

Bagaimana bisa aku diam saja melihat cinta yang dilecehkan seperti ini! Status-status facebook dan some cuitan Twitter yang terbang seperti simbolnya, burung warna biru, semakin mengudara ke telinga teman-teman wartawan muda maupun yang sudah pensiun sepertiku. Sudah lama aku menulis berita orang lain, kini aku akan kembali menjadi bagian dari berita mereka. semakin mengudara ke telinga teman-teman wartawan muda maupun yang sudah pensiun sepertiku. Sudah lama aku menulis berita orang lain, kini aku akan kembali menjadi bagian dari berita mereka. semakin mengudara ke telinga teman-teman wartawan muda maupun yang sudah pensiun sepertiku. Sudah lama aku menulis berita orang lain, kini aku akan kembali menjadi bagian dari berita mereka.

Dua hari semakin menyesakkan telinga dan membuat perih mataku menghadapi layar cerdas yang disebut-sebut sebagai Simbah ; Google dan segala umatnya. Bahkan aku lupa diri, ini hari ketiga aku pulang dari warung mbah Marni. Selama itu pula, Wulan tak menghampiriku ataupun menghubungiku. Namun, kuanggap dia akan menepati janjinya hanya karena kami lahir di waktu yang sama.

Benar. Tak aku akan muncul kembali, Wulan tampak datang kemari. Dari jarak sepuluh meter saja, semua orang sudah akan mengenalinya. Tak hanya parasnya yang cantik, seolah-olah ada cahaya yang mengiringinya. Tepat di depanku, dia duduk dan membuka rambut palsunya,

“Kau tahu, Rum? Berapa harga wig termahal yang pernah kupakai? ” aku menggelengkan kepala, “Empat Juta Delapan Ratus Ribu!” Tegasnya. Angin aneh merasuki sela-sela rambutku yang membuatku tiba-tiba merasa suhu dingin menyisir kepalaku. Aku terkejut begitu begitu penting.

“Mengapa kau buang uangmu untuk beli benda itu? Kau bahkan punya rambut asli, Wul? Saya merinding setiap kali melihat kau memakainya, kau seperti sedang memikul bangkai, memikul mayat! ” ujarku tak karuan.

“Aku tidak sedang mencampakkan uang, Rum. Ini obat manjur untuk menikmati hidupku yang mungkin saja besok usai. Rasa sakit di sekujur tubuhku selama lima tahun ini tak terasa lagi. Tapi justru sakitnya menjalar ke jiwa dan rasa ingin bunuh diri. Hahah ya, sebelum akhirnya ada seseorang yang akan membunuhku! ” “katanya dengan setengah sadar dari alkohol yang masih ada di sini.

“Kau bicara apa, Wul?” tanyaku.

Lalu dia mengeluarkan semua foto-foto dan beberapa keterangan kertas yang menunjukkan bahwa dia sedang mengidap HIV. Aku tak percaya! Kami berdua melemas, aku mencampakkan rokok, Wulan tergeletak berbaring di lantai atas. Mbah marni sesekali menoleh ke arah kami, dia membuka air kran kecil di tempatnya mengukur gelas-gelas.

“Aku tak mengabarkan kepada semua orang untuk berkumpul seperti yang kau minta, Rum. Aku tak ingin mencelakai banyak orang pada akhirnya. Semalam, aku tinggalkan pesan untuk Badri, ”ujarnya seraya mengedipkan satu kelopak matanya. “Aku tak tau bagaiaman HIV akan menular dalam sekali berhubungan. Tapi aku percaya, ada tempat untuk doa-doa para pelacur yang ter- dholimi , kan? Ahaha tapi akhirnya dia mengancam akan membunuhku jika dia tertular. ” Sambungnya seketika lalu pergi keluar dari warung Mbah Marni.

Wulan terlewat berani! Bagaiaman yang bisa berdebat dengan orang seperti Badri yang terlalu kuat di kabupaten ini? Semua bagian tubuhku yang dilewati adrah seakan berdenyut bergantian, satu-satu berebut jalan. Semakin aku pejamkan mataku semakin terasa darah mengalir begitu panas. Wulan begitu meremhakan usianya yang menderita.

***

“Wulan Kampung Baru, Si Pelipur Lara Telah Meninggal”

Sontak dadaku nyeri.

Setelah sebulan dia tak menghubungiku. Pesan masuk dengan berita duka dan judul yang gila!

Jika Wulan mati, Badri sudah tentu sakit! Seharusnya Kampung Baru tetap ada di permukaan bumi, jika tidak, akan kutebus nyawa Wulan dengan berita terjangkitnya HIV seorang wakil bupati.

Blora, 4 September 2020

Tentang penulis W Sanavero ,  penulis buku prosa “Perempuan Yang Memesan Takdir” terbit Maret 2018 di penerbit Buku Mojok Yogyakarta. Beberapa cerpen-cerpennya juga terbit di media online.

*Opini di atas merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab Bloranews.com