fbpx
OPINI  

SURAT PERINTAH GUBERNUR JENDRAL RAFFLES KEPADA BUPATI BLORA

SURAT PERINTAH GUBERNUR JENDRAL RAFFLES KEPADA BUPATI BLORA
Raffles

Sebuah Surat Resmi bertanggal 24 Maret 1813 sampai kepada Residen J.D. Hartilieff di Rembang dan kemudian diteruskan kepada Bupati Blora. Surat itu berisi Perintah dan Instruksi langsung dari Raffles, seorang Letnan Gubernur Jendral Inggris kelahiran Jamaika, yang saat itu berkuasa penuh atas wilayah jajahan Kolonial di Jawa. 

 

SURAT PERINTAH GUBERNUR JENDRAL RAFFLES KEPADA BUPATI BLORA
Raffles

 

Terdapat 27 instruksi secara keseluruhan, 12 diantaranya :

  • Di bawah Keputusan Pemerintah, tidak ada Bupati yang akan ditunjuk untuk Kabupaten Blora.
  • Bupati, selaku pemimpin tertinggi di Kabupaten ini, adalah pejabat bawahan Residen Rembang yang taat perintah, sama halnya dan seolah-olah perintah itu diberikan langsung oleh Gubernur Jendral atau Kementrian Sipil.
  • Bupati, dapat dianggap sebagai Pejabat Pemerintah Inggris dan atau Kompeni Hindia Timur, yang akan mengambil Sumpah Kesetiaan dan Ketaatan dengan Residen.
  • Tugasnya, yang dipercayakan kepadanya sebagai Bupati, adalah untuk mengawal kepentingan Pemerintah.
  • Lebih lanjut, dia harus menitik beratkan kepada segala budidaya demi peningkatan kesejahteraan orang pribumi pada umumnya, dan khususnya kepada budidaya pertanian (sawah). Dan juga akan memberikan kesempatan yang sebesar-besarnya kepada pribumi untuk perluasan lahan sawah.
  • Dia juga harus mengakomodir peningkatan peternakan Sapi, Kerbau, Domba, Kuda, dll. Dan hal-hal lain yang berkaitan dengan kesejahteraan rakyat dan juga kepentingan Pemerintah.
  • Dia harus mengutamakan keharmonisan yang baik antara penduduk pribumi Jawa, juga dengan bangsa yang berbeda.
  • Dia akan mengawasi seluruh kepala Distrik (Kecamatan), Desa, Kampung, mengawasi pelaksanaan tugas Jaksa, juga pemimpin agama dan Imam.
  • Dia akan mengontrol dan memastikan bahwa agama, moral dan kebiasaan Mohamedan tidak melanggar dan menyimpang, dan harus melindungi para pemuka agama dalam pelaksanaan tugas mereka.
  • Dia harus melembagakan pendidikan yang diperlukan untuk anak-anak pribumi dan berkonsultasi dengan Penghulu tentang hal itu, sehingga akan dicapai kesepakatan instruksi tentang adat istiadat, hukum, dan agama dan penyebar luasannya di seluruh wilayah Blora.
  • Tidak satupun dari Kepala Desa atau Kampung yang dapat dilengserkan oleh Bupati, dan siapapun yang lalai akan dilaporkan kepada Residen.
  • Pada pemilihan Mantri, Demang, atau aparat yang lain, tidak diperbolehkan adanya Wang-Bekti , apalagi pemberian berupa barang atau Sapi.

 

Siapakah Bupati Blora saat itu dan bagaimana keadaan Blora?

Dua tahun sebelumnya, Blora (Blora bagian Utara) lepas dari wilayah Bang-wetan Surakarta dan menjadi daerah jajahan Belanda, setelah ditandatanganinya sebuah perjanjian 10 Januari 1811 antara pihak Kasunanan Surakarta, Kasultanan Jogjakarta dan Mangkunegaran dengan Daendels, selaku Gubernur Jendral Pemerintah Hindia-Timur Belanda. Daendels memang sejak tahun 1809 mengincar wilayah hutan Jati Blora untuk dikuasai. Dengan menggunakan sistem tanam paksa, dia berupaya meng-hutan-kan Blora.

Namun, sebelum semua perjanjian itu terlaksana, Belanda menyerah kepada Inggris sehingga menyerahkan seluruh wilayah jajahannya di Nusantara kepada Inggris, dan Raffles diangkat menjadi Letnan Gubernur Jendral Hindia-Timur. Setahun kemudian, di bulan Agustus 1812, sebuah perjanjian kembali disepakati dimana pihak Jogjakarta menyerahkan sebagian besar wilayah Mancanegara-nya kepada Kolonial Inggris, termasuk di dalamnya Jipang. Raden Tumenggung Noto Wijoyo, selaku Bupati Jipang-Panolan (Blora bagian Selatan), menghilang secara misterius, bersamaan dengan nihilnya catatan tentangnya setelah perjanjian itu. 

Jelas bahwa Blora yang sekarang kita kenal merupakan gabungan dari dua wilayah yang diserahkan kepada Kolonial (1811-1812). Tetapi hanya terdapat seorang Bupati yang berkuasa, yaitu Bupati Blora (RT. Prawirayuda?). 

Raffles dianggap melakukan kebijakan strategis di bidang ekonomi dengan menghilangkan sistem tanam paksa yang dilakukan oleh VOC Belanda dan menggantinya dengan menerapkan sistem sewa tanah (landelijk stelsel). Apakah semua ini berhubungan dengan mitos dimana Blora, disaat Bupati Prawirayuda berkuasa, rakyatnya sejahtera karena sang Bupati memiliki “kemampuan” mengambil emas dari tanah?

 

Bacaan :

Bijdragen Koninklijk Instituut, 1862 vol 3

Raffles, Thomas Stamford. 2016. The History of Java.

 

Tentang penulis: Totok Supriyanto adalah pemerhati sejarah dan budaya.

 

*Opini di atas merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab Bloranews.com