fbpx

SURO NGINGGIL : PENDHITO GUNUNG KENDENG

Suru nginggil
foto : Lukisan Eyang Suro Nginggil milik Sariman Lawantiran
Suru nginggil
foto : Lukisan Eyang Suro Nginggil milik Sariman Lawantiran

Kradenan – Desa Nginggil, sebuah desa di perbatasan Jawa Tengah – Jawa Timur ini melahirkan seorang tokoh fenomenal. Seorang lurah (Kepala Desa) yang memiliki kelebihan ilmu pengobatan alternatif yang tak berjarak dengan rakyatnya. Karena kelebihannya itu, sang Lurah diberi gelar oleh rakyatnya dengan nama Pendhito Gunung Kendheng. Lurah ini bernama Eyang Suro Nginggil.

Eyang Suro Nginggil memiliki nama asli Mulyono Surodiharjo. Memiliki berbagai kelebihan ilmu pengobatan alternatif dan pengetahuan supranatural membuatnya menjadi tujuan orang-orang yang sedang berkesusahan.

Tahun ’60-an, Eyang Suro Nginggil dipercaya menduduki jabatan Lurah Nginggil. Saat itu usianya baru menginjak 47 tahun. Eyang Suro Nginggil merupakan pengagum Presiden Soekarno. Hal ini tampak ketika “Orang Sakti” ini memberikan wejangan kepada para pengikutnya, selalu digelorakan yel-yel “Hidup Soekarno !” dan diselingi dengan pekikan “Hidup PKI !”.

Ramainya padepokan Eyang Suro Nginggil membuat desa Nginggil tampak seperti kota di tengah hutan. Terangnya pencahayaan malam membuat desa itu tampak semarak di tengah gelapnya malam. Gambaran tentang desa Nginggil dan Eyang Suro Nginggil pada awal dekade ’60-an ini dipublikasikan oleh seorang wartawan bernama Ramelan dalam bukunya “Mbah Suro Nginggil” pada tahun 1967.

Tahun 1965 pamor presiden Soekarno meredup, hal ini tidak membuat kesetiaan Eyang Suro Nginggil surut. Jangankan berdiam diri ditengah kecaman para pelajar dan mahasiswa kepada pemerintahan presiden Soekarno, Eyang Suro Nginggil justru membuat satuan pasukan pembela Soekarno. Pasukan itu terdiri atas Pasukan Banteng Wulung yang beranggotakan 200 laki-laki dewasa dan Pasukan Banteng Sarinah dengan anggota 30 wanita.

Tindakan Eyang Suro Nginggil ini membuat militer resah. Kekhawatiran militer ini berujung dikepungnya padepokan Eyang Suro Nginggil oleh pasukan yang dipimpin Mayor Sumardi. Tentara yang diterjunkan pun tidak sedikit jumlahnya, terdiri atas batalyon 408, batalyon 409, batalyon 410 dan satu kompi pasukan RPKAD dibawah komando Letnan Feisal Tanjung.

Pengepungan berakhir pertempuran tersebut memakan korban sebanyak 70 pengikut Eyang Suro Nginggil. Jatuhnya korban ini membuat Eyang Suro Nginggil menyerah. Dalam kondisi tertawan, Eyang Suro Nginggil berdialog dengan Letnan Feisal. Dalam dialog itu, Letnan Feisal mencecar Eyang Suro Nginggil dengan pertanyaan tentang kesaktian sang Lurah. Pengagum Soekarno tersebut dengan rendah hati menjawab bahwa dia sama sekali bukan orang sakti.

Selesai dialog, pasukan RPKAD menganggap bahwa Eyang Suro hendak melarikan diri. Akibatnya, Eyang Suro pun ditembak dengan senapan. Peristiwa penembakan terhadap Eyang Suro ini tidak menghapus pengaruh sang Lurah, justru membuatnya tetap dikenang sampai saat ini.

Editor              : Sahal Mamur

Foto                 : Az Zulfa

Sumber            : Merdeka.com / Cerita Penyergapan Dukun PKI yang Ngaku Kebal Senjata