Dalam ruang pengetahuan, tradisi kritik acapkali dilukiskan sebagai aktifitas mencerca dan membunuh karakter. Banyak yang berasumsi bahwa kritik merupakan akar dari perpecahan, sehingga patut untuk dihindari dan dihilangkan. Namun ketika dirunut sejarahnya, anggapan itu tidak selamanya benar. Dalam sejarah, kritik merupakan komponen utama yang digunakan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Dan ini dilakukan oleh barat maupun Islam.
Dalam khazanah Islam klasik, tradisi kritik tumbuh subur dikalangan muhaditsin. Dengan metodologi at-ta’dil wa at-tajrih, Pemikir Islam mencoba menguji otoritas seorang perawi dalam meriwayatkan sebuah hadits guna mengetahui kesahihannya. Kemudian dalam khazanah filsafat, kita mengerti pertentangan sengit antara Al-Ghazali dan Ibnu Rushd. Dimana kala itu Al-Ghazali mengkritisi para filosof dengan karyanya “tahafut al-falasifah” dan dibalas Ibnu Rusd dengan karyanya “tahafut at-tahafut”.
Pun dengan spektrum filsafat barat yang terkenal akan rasionalitasnya. Banyak nama-nama yang memiliki pemikiran megah namun berkontradiksi satu sama lain. Yang mencolok adalah kontradiksi antara mazhab Rasionalisme dan Empirisme. Keduanya saling mengkritik sebelum didudukkan kembali dan disintesis secara kritis oleh Imanuel Kant. Imanuel kant sendiri memaknai kritik sebagai “pengujian kesahihan.” Jadi segala bentuk gagasan perlu diuji kesahihannya melalui kritik-kritik yang tajam.
Sampai sini kita akan memahami bahwa kritik merupakan hal yang wajar dan menjadi salah satu syarat proses pengembangan intelektual. Dan suatu bentuk musibah jika tradisi kritik dianggap tabu dan tidak etis. Apalagi sampai dipisahkan dengan ruang-ruang intelektual.
Tentang Penulis : Mohammad Sodikhin Kasravi adalah Anggota Litbang Bloranews.com