OPINI  

HUJAN DI AWAL MUSIM KEMARAU: PETANI KUNDURAN TERJEBAK SPEKULASI IKLIM, PEMERINTAH PERLU HADIR

Pertengahan Mei biasanya menjadi penanda masuknya musim kemarau di Blora. Tapi tahun ini, justru hujan deras masih mengguyur hampir setiap hari. Beberapa wilayah bahkan dilaporkan mengalami bencana banjir. Hujan deras siang hingga malam pada Senin, 19 Mei kemarin, setidaknya menyebabkan 6 kecamatan di Kabupaten Blora terendam banjir.

Kondisi ini tidak hanya mengacaukan aktivitas masyarakat secara umum, tapi juga menimbulkan kebingungan dan keresahan di kalangan petani. Di wilayah selatan Kecamatan Kunduran, misalnya, para petani kini berada dalam situasi dilematis yang serius.

Lahan sawah yang biasanya mulai mengering untuk ditanami kacang hijau, tembakau, atau jagung pascapanen padi musim tanam kedua (MT2), justru kini tergenang air. Tanah masih becek dan benih tak bisa ditanam. Bahkan di beberapa titik, air masih mengalir seperti di musim hujan. Sebagian petani akhirnya memilih langkah spekulatif: menanam padi kembali (MT3), meski tanpa persiapan dan jaminan curah hujan akan tetap tersedia hingga masa panen tiba.

Langkah ini sejatinya adalah bentuk keputusasaan. Mereka tahu risiko menanam padi MT3 sangat tinggi, tapi tidak punya pilihan lain. Komoditas alternatif seperti tembakau, jagung dan kacang hijau memerlukan tanah kering dan sinar matahari penuh. Sayangnya, cuaca yang tak kunjung menentu membuat semua rencana tanam gagal total. Persemaian bibit tembakau yang sudah siap pindah tanam pun terbengkelai.

Lebih memprihatinkan lagi, wilayah selatan Kunduran ini adalah daerah pertanian tadah hujan. Tidak ada saluran irigasi teknis, tidak ada sumur dalam, dan tidak ada sistem pengairan permanen. Ketika curah hujan berhenti, satu-satunya opsi adalah menyedot air dari Sungai Lusi menggunakan pompa diesel. Tapi itu pun mahal, biaya operasional bisa mencapai ratusan ribu rupiah per hektare per minggu. Petani kecil jelas sangat berat menanggungnya.

Fenomena ini menggambarkan satu hal: petani dibiarkan berjudi dengan iklim tanpa perlindungan sistemik.

 

Apa yang bisa Dilakukan Pemerintah?

Pertama, pemerintah perlu memperkuat sistem informasi iklim berbasis lokal. Selama ini, kalender tanam masih banyak yang mengacu pada pola lama yang tak lagi relevan. BMKG sebenarnya memiliki data prediksi iklim musiman dan harian yang cukup akurat. Namun, informasi ini belum menjangkau para petani secara langsung dan mudah dipahami. Maka diperlukan kolaborasi antara BMKG, Dinas Pertanian, penyuluh, dan media desa untuk menyampaikan informasi iklim dalam bentuk sederhana dan aplikatif bagi petani.

Kedua, perlu ada strategi tanam adaptif di lahan tadah hujan, termasuk pemanfaatan varietas padi atau palawija dengan umur pendek dan toleran terhadap stres air. Selain itu, program bantuan benih seharusnya disesuaikan dengan kondisi iklim aktual, bukan hanya berdasarkan jadwal rutin tahunan. Ini juga membutuhkan keterlibatan aktif penyuluh pertanian lapangan (PPL) agar petani tidak merasa sendiri dalam mengambil keputusan tanam.

Ketiga, perlu ada evaluasi kebijakan pembangunan pertanian di daerah tadah hujan. Pembangunan irigasi jangan hanya fokus di daerah dengan potensi sawah abadi. Daerah seperti Kunduran selatan juga memiliki nilai strategis bagi ketahanan pangan daerah. Pembangunan embung kecil, bantuan pompa air bersubsidi, atau program sumur dangkal kolektif bisa menjadi solusi antara yang relatif murah dan cepat direalisasikan.

Apa gunanya bicara swasembada pangan atau ketahanan pangan nasional jika petani-petani di daerah rentan masih harus berjudi dengan alam, tanpa informasi yang cukup, tanpa jaring pengaman, dan tanpa infrastruktur dasar?

Cuaca memang tak bisa diatur, tapi ketanggapan pemerintah bisa dirancang. Musim kemarau yang basah ini adalah peringatan keras bahwa sistem pertanian kita belum siap menghadapi perubahan iklim. Maka, kehadiran negara menjadi mutlak. Sekarang, bukan nanti.

Tentang Penulis: Dwi Giatno, adalah Ketua Umum Pengurus Cabang IKA-PMII Kabupaten Blora dan Sekretaris Lakpesdam PCNU Blora. Saat ini aktif sebagai praktisi pertanian organik di Kabupaten Blora.

*Opini di atas merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab Bloranews.com.