fbpx

93 TAHUN PRAMOEDYA : TETAP TAJAM HINGGA AKHIR HAYAT

Rumah Pramoedya ananta toer
Rumah masa kecil Pram mulai dibangun pada tahun 1922 dan selesai tahun 1925 oleh Mastoer dengan model joglo. Empat tahun setelah Mastoer wafat

Blora – Maestro Sastra Indonesia, Pramoedya Ananta Toer  hari ini genap berusia 93 tahun. Meski raganya telah terbenam di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Karet Bivak Jakarta Pusat, namun karya dan semangatnya tetap menjadi inspirasi bagi bangsa ini, terutama bagi pemuda di tanah kelahirannya, Blora.

Berikut ini ulasan Bloranews.com tentang Pramoedya Ananta Toer Sang Penulis Kritis yang tetap tajam hingga akhir hayat.

 

Rumah Pramoedya ananta toer
Rumah masa kecil Pram mulai dibangun pada tahun 1922 dan selesai tahun 1925 oleh Mastoer dengan model joglo. Empat tahun setelah Mastoer wafat

 

Pramoedya Ananta Mas Toer, demikian nama kecil maestro sastra Indonesia kelahiran Blora, 6 Februari 1925 ini. Kisah hidupnya, dimulai dari sebuah perkampungan kecil di kawasan Blora Kota, Kelurahan Jetis.

Pramoedya lahir dari pasangan Mas Toer Imam Badjoeri dan Siti Saidah. Ketika Pramedya telah menginjak dewasa, dia menganggap gelar Mas dalam nama Mas Toer berbau feodalistik. Dia pun menghapus gelar Mas dari namanya, akhirnya dia hanya menggunakan nama Toer saja, tanpa gelar Mas.

Rasa antipati Pramoedya terhadap segala bentuk feodalisme membuatnya mengumandangkan perlawanan dengan caranya sendiri, menulis. Bagi Pramoedya, menulis membutuhkan keberanian.

Ketika Pram berumur sekitar 25 tahun, pada dekade 1950-an, Pram menulis karya pertamanya yang berjudul Korupsi. Pada karya pertamanya ini, Pram mengkritik perilaku korupsi pamong praja yang marak terjadi kala itu. Tulisan ini, membuatnya bergesekan dengan penguasa saat itu, Soekarno.

Gesekan dengan pemerintah tak membuatnya tumpul. Rezim Soekarno tumbang dan digantikan era Orde Baru. Pergantian rezim ini diwarnai dengan adanya aksi kekerasan terhadap etnis tionghoa.

Pram yang melakukan penelitian tentang aksi kekerasan ini harus berhadapan dengan pemerintahan Orde Baru pada dekade 1960-an.

Pemerintah Orde Baru menganggap, penelitian Pramoedya tentang kekerasan terhadap etnis tionghoa yang dituangkan dalam karya bertajuk Hoakiau di Indonesia, merupakan bentuk keberpihakan pada paham Komunis – Tiongkok.

Akibatnya, Pram harus menjalani hukuman di Pulau Buru tanpa proses pengadilan.

Tahun 1973, dalam masa hukumannya di Pulau Buru, Pramoedya mendapatkan sedikit kebebasan untuk melanjutkan kerja kreatifnya, menulis. Oleh sesama tahanan politik di Pulau Buru, Pramoedya mendapatkan mesin ketik jenis Royal 440 yang digunakannya hingga dia dibebaskan.

Pram dibebaskan pada 1979, hasil kerja kreatifnya selama dalam tahanan segera diterbitkan. Keempat karya fenomenalnya diterbitkan oleh penerbit Hasta Mitra, oleh banyak kalangan dikenal dengan nama Tetralogi Pulau Buru.

Keempat buku tersebut terdiri atas Bumi Manusia (1980, 1981), Anak Semua Bangsa (1981, 1981), Jejak Langkah (1985, 1985) dan Rumah Kaca (1988, 1988). Keempat buku tersebut dilarang beredar oleh Kejaksaan Agung beberapa saat setelah diterbitkan.

Kendati mendapatkan tekanan dari dalam negeri, sejumlah komunitas dari luar negeri memberikan respon yang berbalik. Empat karya Pram, dialihbahasakan dan diterbitkan dengan judul The Quartet.

Naskah Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa diterjemahkan dalam Bahasa Inggris oleh Max Lane, pegawai Kedubes Australia di Jakarta pada 1980. Tahun 1986, naskah ini diterjemahkan dalam Bahasa Rusia E. Rudenko dengan judul Mir Chelovechesky.

Tak hanya itu, Karya Pramoedya juga mendapatkan apresiasi secara internasional. Diantaranya,

Pram mendapatkan Ramon Magsaysay Award pada 1995, Nominasi Nobel Sastra, dan Hadiah Budaya Asia Fukuoka XI tahun 2000.

Sepanjang hidupnya, Pramoedya telah menghasilkan lebih dari 50 karya dan diterjemahkan ke dalam 41 bahasa asing.

Pram berpulang pada 30 April 2006 dalam usia 81 tahun. Jenazahnya dimakamkan di TPU Karet Bivak Jakarta Pusat.

Dalam prosesi tersebut dikumandangkan lagu Darah Juang, sebuah lagu perlawanan yang cukup populer di dunia pergerakan di tanah air.

 

Penyunting : Arif Syaifudin