OPINI  

KETIKA LUKA TAK TERLIHAT: BULLYING DAN KRISIS MENTAL DI KALANGAN PELAJAR

Awal Cerita dari Ruang Kelas

Bayangkan seorang siswa yang datang ke sekolah setiap hari dengan senyum yang tampak biasa saja. Ia duduk di bangku paling belakang, jarang berbicara, dan tak pernah mengeluh. Namun tanpa disadari, setiap pulang sekolah ia membawa luka yang tidak kasat mata, luka akibat olokan teman, pengucilan, atau komentar tajam yang dilontarkan secara sembunyi-sembunyi. Inilah realita bullying yang sering tak terlihat namun nyata melukai.

Bullying Itu Nyata, Bukan Sekadar ‘Bercanda’

Salah satu masalah terbesar dari bullying adalah anggapan bahwa itu “hanya bercanda.” Padahal, tidak semua orang bisa menerima candaan yang sama. Sebuah kalimat seperti “kamu bodoh banget sih” atau “kamu nggak punya teman ya?” bisa menghancurkan kepercayaan diri seseorang, terutama saat diulang-ulang.

Menurut Prof. Irwanto, Ph.D, pakar psikologi perkembangan anak dari Universitas Indonesia, “bullying adalah bentuk kekerasan yang menggerogoti harga diri korban secara perlahan, dan bisa berdampak jangka panjang terhadap kepribadian serta relasi sosial mereka di masa depan.” (Kompas, 2023)

Kesehatan Mental: Sering Diabaikan, Padahal Sangat Penting

Tak jarang siswa yang mengalami bullying menunjukkan tanda-tanda gangguan mental seperti:

  • Sulit tidur dan sering bermimpi buruk
  • Tidak bersemangat ke sekolah
  • Menarik diri dari lingkungan sosial
  • Menjadi mudah marah atau sangat murung

Laporan dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) tahun 2023 menyebutkan bahwa 1 dari 3 anak Indonesia pernah mengalami bullying di lingkungan sekolah. Dari jumlah tersebut, lebih dari 40% mengalami gejala gangguan psikologis seperti kecemasan dan depresi.

Kisah-Kisah yang Menginspirasi Perubahan

Beberapa sekolah sudah mulai menyadari pentingnya isu ini. Di sebuah SMP negeri di Jawa Tengah, ada program yang dinamakan “Teman Curhat.” Di sana, siswa bisa menulis keluhan atau cerita pribadi secara anonim lalu dimasukkan ke dalam kotak khusus. Hasilnya? Banyak guru mulai sadar akan masalah yang sebelumnya tidak pernah terlihat.

Di sebuah SMA swasta di Jakarta, siswa diajak membuat teater yang mengangkat isu bullying dan kesehatan mental. Proyek itu tidak hanya membuka mata siswa, tapi juga mengubah pola pikir banyak guru dan orang tua yang hadir saat pertunjukan.

Langkah-Langkah Praktis untuk Mengurangi Bullying

1. Ciptakan Ruang Aman di Kelas

Guru bisa menyediakan waktu mingguan untuk sesi diskusi ringan, berbagi cerita, atau kegiatan kelompok yang membangun empati.

2. Jadikan Siswa Bagian dari Solusi

Libatkan siswa dalam membuat peraturan kelas atau kode etik pergaulan. Ketika siswa merasa memiliki peran, mereka lebih peduli untuk menjaga lingkungan sosial.

3. Pelatihan Guru Tentang Kesehatan Mental

Guru perlu dibekali kemampuan untuk membaca tanda-tanda siswa yang sedang tidak baik-baik saja secara mental.

4. Integrasi Pendidikan Karakter

Sekolah bisa memasukkan pendidikan karakter, empati, dan literasi emosi ke dalam pembelajaran sehari-hari.

5. Penguatan Layanan Bimbingan dan Konseling

Menurut data dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), hanya sekitar 45% sekolah di Indonesia yang memiliki konselor sekolah aktif. Padahal peran konselor sangat penting dalam menangani isu bullying dan kesehatan mental.

Apa yang Bisa Dilakukan Siswa?

  • Jangan diam saat melihat teman dibully. Ajak bicara korban dan laporkan ke guru atau konselor.
  • Kenali perasaan sendiri. Kalau merasa tidak baik-baik saja, jangan ragu mencari bantuan.
  • Bangun solidaritas. Kadang hal kecil seperti menyapa teman yang sedang murung bisa sangat berarti.

Untuk Guru: Jadilah Orang Dewasa yang Bisa Dipercaya

Menurut Dr. Rini Hildayani, dosen psikologi anak dari Universitas Gunadarma, “salah satu faktor penting dalam pemulihan korban bullying adalah kehadiran orang dewasa yang mampu memberikan rasa aman dan percaya.” Guru bisa berperan besar di sini jika mampu menjadi pendengar yang empatik dan tidak menghakimi.

Penutup: Sekolah Adalah Rumah Kedua, Jadikan Tempat Itu Aman

Tidak ada sistem pendidikan yang sempurna. Namun, sekolah seharusnya bisa menjadi tempat di mana setiap siswa merasa dilihat, didengar, dan dihargai. Bullying dan masalah kesehatan mental bukan hal kecil, dan sudah saatnya semua pihak dari siswa hingga guru, dari kepala sekolah hingga orang tua, bekerja sama untuk menciptakan perubahan.

Karena pada akhirnya, tidak ada nilai ujian yang lebih penting daripada rasa aman dan bahagia saat belajar.

Tentang Penulis: Siti Maria Ulfa, Mahasiswa Pendidikan Profesi Guru UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi

 

*Opini di atas merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab Bloranews.com.