Banjir besar yang melanda Kabupaten Blora pada 19–20 Mei 2025 tak bisa hanya disebut sebagai bencana tahunan biasa. Ini adalah banjir terluas dan terdalam sepanjang sejarah Blora modern. Lebih dari 1.600 rumah warga tergenang, puluhan titik jalan terputus, jembatan ambrol hingga putus, sekolah diliburkan, dan sawah gagal panen. Sepuluh kecamatan terdampak secara langsung, sesuatu yang belum pernah terjadi dalam satu kejadian banjir sebelumnya.
Dalam ingatan kolektif warga Blora, banjir besar pernah tercatat pada tahun 2007, 2014, dan 2023. Namun banjir kali ini jauh melampaui. Tidak hanya skala luapan Sungai Lusi yang mengejutkan, tapi juga cepatnya genangan merendam permukiman, bahkan di wilayah yang sebelumnya tidak rawan banjir.
Mengapa Banjir Ini Bisa Terjadi?
Cuaca ekstrem memang menjadi pemicu. Curah hujan tinggi turun hampir tanpa henti dalam 24 jam. Namun, apakah ini satu-satunya penyebab?
Di berbagai forum warga, grup media sosial, dan diskusi publik, muncul pertanyaan serius: apakah daya tampung alam Blora sudah rusak? Apakah kebijakan pembangunan, pertambangan, dan alih fungsi lahan selama ini turut mempercepat bencana?
Pegunungan Kendeng yang Teriris
Sungai Lusi, yang hulunya berada di kawasan perbatasan Blora-Rembang, kini menjadi sungai cepat. Pegunungan Kendeng yang menjadi tempat kelahirannya adalah kawasan karst unik yang sejatinya memiliki daya serap air sangat tinggi. Sayangnya, aktivitas penambangan batu kapur dan ekspansi industri ekstraktif di wilayah ini terus berlangsung dalam satu dekade terakhir. Karst yang mestinya menjadi “spons” penyerap air kini berubah menjadi permukaan keras yang mempercepat aliran.
Aliran deras dari utara inilah yang mempercepat banjir di wilayah tengah dan selatan Blora, di mana Sungai Lusi mengalirkan limpahan air ke daerah padat penduduk.
Deforestasi yang Diam-Diam Dibiarkan
Blora pernah dikenal sebagai kabupaten berhutan. Namun kini, banyak kawasan hutan di kecamatan-kecamatan seperti Jiken, Randublatung, Japah, dan lainnya sudah berubah menjadi kebun jagung dan tebu. Perubahan ini tidak terjadi dalam semalam. Ini akumulasi dari berbagai program agroindustri, baik oleh perorangan, kelompok tani, maupun skema kerja sama dengan Perhutani.
Pertanyaannya, apakah semua itu dikawal dengan kajian lingkungan yang matang?
Ladang jagung dan tebu memang “produktif” secara ekonomi jangka pendek. Tapi tidak memiliki daya serap air yang cukup. Akar tanaman semusim ini tidak mampu menahan longsor dan tidak memperkuat struktur tanah. Saat hujan besar datang, tanah tidak mampu menyerap air secara cepat. Air mengalir deras dan membawa serta tanah lapisan atas menyumbat drainase dan mempercepat banjir di hilir.
Drainase dan Tata Ruang yang Usang
Kita juga tidak bisa menutup mata bahwa banyak kawasan permukiman tumbuh di dataran rendah, tanpa perencanaan saluran air yang memadai. Banyak saluran irigasi sudah tertutup bangunan. Drainase desa dangkal dan penuh sedimentasi. Urbanisasi berjalan cepat, tapi tidak diiringi dengan adaptasi terhadap risiko hidrometeorologi seperti banjir bandang.
Ayo Lihat Cermin
Kita patut menghargai kerja keras BPBD, relawan, dan pemerintah daerah dalam penanganan tanggap darurat. Namun banjir ini adalah tanda bahwa kita harus mulai menyentuh akar masalah. Kita tidak cukup hanya dengan membagikan bantuan logistik dan membangun kembali rumah. Yang lebih penting adalah mencegah banjir berikutnya.
Maka dari itu, sudah saatnya Kabupaten Blora untuk:
- Melakukan audit menyeluruh atas kawasan resapan air, termasuk hutan-hutan lindung dan semilindung yang telah berubah fungsi.
- Mengevaluasi izin tambang dan aktivitas industri di kawasan Pegunungan Kendeng, dengan melibatkan ahli geologi dan hidrologi independen.
- Menyusun ulang rencana tata ruang wilayah (RTRW) berbasis mitigasi bencana dan daya dukung lingkungan, bukan sekadar target ekonomi jangka pendek.
- Mengembalikan fungsi ekologis Sungai Lusi, termasuk dengan reboisasi kawasan bantaran dan penataan ulang daerah aliran sungai (DAS).
Jangan Anggap Biasa
Jika banjir sebesar ini dianggap hal biasa, maka Blora sedang bergerak menuju siklus bencana tahunan. Kita harus mulai berkata jujur bahwa ini bukan sepenuhnya “bencana alam”. Ini juga bencana kebijakan. Kita yang memilih untuk terus menambang, menebang, dan membuka lahan tanpa kajian. Kita pula yang harus memilih jalan keluar.
Blora tidak kekurangan sumber daya manusia atau pengetahuan. Yang dibutuhkan adalah keberanian politik dan kesadaran kolektif. Banjir Mei 2025 harus menjadi titik balik, bukan sekadar peristiwa yang kita lupakan ketika air surut.
Tentang Penulis: Dwi Giatno, Ketua Umum Pengurus Cabang IKA-PMII Kabupaten Blora dan Sekretaris Lakpesdam PCNU Blora.
*Opini di atas merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab Bloranews.com.