“Kita ini petani, kok malah tiap musim sibuk beli pupuk, beli benih, beli obat? Terus yang kita produksi sebenarnya apa?”
Kalimat ini terlontar dalam sebuah diskusi petani muda. Sekilas terdengar sederhana, tapi menyentuh akar persoalan: petani hari ini lebih sering berperan sebagai konsumen dalam sistem pertanian yang mereka jalani sendiri.
Ketika Petani Jadi Pasar
Sistem pertanian konvensional mendorong petani menjadi konsumen tetap bagi industri: beli pupuk, beli benih, beli pestisida. Setiap musim tanam, para petani nyaris tak punya pilihan selain mengandalkan input luar.
Ironisnya, tidak sedikit petani yang bahkan tidak tahu persis kandungan produk yang mereka pakai. Mereka hanya mengikuti saran, atau mengikuti kebiasaan lama. Inilah bentuk ketergantungan yang tak hanya ekonomi, tetapi juga psikologis.
Yang Menanam Tak Menentukan Harga
Yang lebih menyedihkan lagi, meskipun petani adalah produsen pangan, mereka tidak punya kuasa untuk menentukan harga jual panennya sendiri.
Justru pasar yang dikendalikan tengkulak, pedagang besar, dan logistik distributor yang menentukan berapa petani boleh menjual.
Situasi ini semakin menegaskan bagaimana petani ditempatkan sebagai pelaku yang tidak berdaulat dalam sistem yang seharusnya mereka kendalikan.
Jika petani hanya menanam tapi tidak bisa menentukan harga, apakah mereka masih bisa disebut produsen pangan?
Ragu pada Diri Sendiri
Ketika diajak membuat pupuk sendiri, banyak petani merasa tidak yakin. Mereka takut pupuk buatan sendiri tidak “sekuat” pupuk pabrik.
Keraguan ini bisa dimengerti, karena sistem selama ini memang menciptakan ketergantungan.
Padahal, masalahnya bukan pada bahannya, tetapi pada kepercayaan dan konsistensi.
Riset oleh Mayasari Rahayu (2020) di Semarang menunjukkan bahwa petani organik yang konsisten mengalami peningkatan produktivitas dan efisiensi biaya dalam tiga musim tanam.
Kedaulatan Itu Dimulai dari Produksi Sendiri
Pertanian organik bukan hanya metode tanam, tapi gerakan pemulihan peran petani. Petani tidak hanya memanen, tapi memproduksi: pupuk, pestisida, bahkan benihnya sendiri.
Lebih dari itu, pertanian organik juga membuka peluang mengelola distribusi dan penjualan secara lebih mandiri, baik lewat koperasi, kelompok tani, atau kerja sama dengan konsumen langsung.
Dengan begitu, petani tidak lagi cuma ikut harga pasar, tapi bisa membentuk pasar baru yang lebih adil.
Bahan Baku Itu Melimpah, Tinggal Kemauan
Kotoran ternak, jerami, limbah sayuran, air cucian beras—semua bisa jadi bahan pupuk dan MOL (mikroorganisme lokal). Tidak harus beli. Hanya perlu diolah.
Di Desa Ketapang, Susukan, Kabupaten Semarang, para petani sudah puluhan tahun melakukannya. Mereka membentuk kelompok untuk memproduksi pupuk dan pestisida nabati bersama. Mereka juga mulai mengatur distribusi dan pemasaran hasil panen mereka sendiri.
Bukan Soal Ribet, Tapi Soal Arah
Apakah membuat pupuk sendiri itu repot? Ya, di awal. Tapi bukankah lebih repot jika setiap musim harus antre pupuk subsidi, atau panik karena harga pupuk naik, dan saat panen pun harus pasrah ikut harga tengkulak?
Ini soal arah. Apakah kita ingin terus bergantung, atau mulai berdaulat?
Saatnya Petani Ambil Alih Kendali
Petani sejati bukan hanya produsen hasil panen. Mereka adalah produsen sistem: dari benih, pupuk, hingga pengetahuan dan nilai jual. Mereka ilmuwan lapangan, penjaga tanah, dan pencipta pangan.
Sudah waktunya petani mengambil kembali kendali, bukan hanya atas tanah, tapi juga atas harga dan arah pertanian.
Karena petani itu produsen. Bukan konsumen.
Tentang Penulis: Dwi Giatno, Ketua Umum Pengurus Cabang IKA-PMII Kabupaten Blora dan Sekretaris Lakpesdam PCNU Blora
*Opini di atas merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab Bloranews.com.