OPINI  

ALARM BAHAYA! KETAHANAN PANGAN KITA DI PERSIMPANGAN JALAN

Foto: Ilustrasi

Di tengah klaim surplus beras dan keberhasilan swasembada, sebuah alarm bahaya sebenarnya sedang berbunyi. Ketahanan pangan Indonesia berada di persimpangan jalan: apakah akan terus bergantung pada logika pasar dan impor, atau berani menata ulang sistem pangan dari akar – dari petani.

Di balik panen yang dilaporkan sukses, tersembunyi kenyataan yang kerap diabaikan: petani kita semakin tua, semakin sedikit, dan semakin sulit hidup dari sawahnya sendiri.

Data BPS dan Kementerian Pertanian mencatat, jumlah rumah tangga usaha pertanian turun dari 31,7 juta (2013) menjadi 29,3 juta (2023). Proporsi penduduk yang bekerja di sektor pertanian juga menyusut dari 34% menjadi 28%. Lebih dari 70% petani saat ini berusia di atas 45 tahun. Artinya, dalam 10–15 tahun ke depan, Indonesia bisa menghadapi krisis produsen pangan.

Namun ini bukan semata soal regenerasi. Di balik itu ada soal besar yang jarang dibahas jujur: usaha tani hari ini tidak layak secara ekonomi. Rata-rata petani padi dengan lahan kurang dari 0,5 hektare hanya memperoleh Rp400.000–600.000 per bulan, bahkan lebih rendah dari garis kemiskinan. Biaya produksi naik, harga jual tak menentu, dan pasar lebih menguntungkan tengkulak ketimbang petani.

Maka tidak heran jika anak-anak muda lebih memilih menjadi pengemudi ojek daring atau buruh pabrik. Sawah tak lagi terlihat menjanjikan. Di banyak desa, bertani sudah jadi pilihan terakhir, bukan cita-cita utama.

Situasi ini diperparah oleh ketergantungan pada pangan impor. Beras, kedelai, jagung, gula, bahkan bawang putih, sebagian besar masih harus didatangkan dari luar negeri. Ini artinya, jika terjadi gejolak global, krisis iklim, atau gangguan logistik, ketahanan pangan nasional bisa goyah seketika.

Lalu, ke mana kita akan melangkah dari persimpangan ini?

Pertama, kita harus mengubah cara memandang petani. Bertani bukan kerja kasar, tapi profesi yang menjaga hidup bangsa. Negara wajib hadir dengan jaminan harga yang adil, akses terhadap lahan dan modal, serta perlindungan dari praktik pasar yang eksploitatif.

Kedua, regenerasi petani harus dijalankan secara sistemik. Pendidikan vokasi pertanian, insentif bagi petani muda, koperasi pemuda tani, hingga gerakan berbasis pesantren dan komunitas keagamaan bisa menjadi jalan keluar. NU, Muhammadiyah, pesantren, dan kampus memiliki posisi strategis untuk terlibat langsung.

Ketiga, arah kebijakan pangan harus bertransformasi dari sekadar swasembada menuju kedaulatan pangan. Petani harus berdaulat atas benih, tanah, air, dan hasil panennya. Tanpa itu, produksi pangan boleh saja meningkat, tapi ketahanan kita akan tetap rapuh.

Jika kita tidak memilih arah yang benar hari ini, maka krisis yang sedang kita abaikan akan tumbuh menjadi bom waktu. Dan jika alarm bahaya ini terus kita diamkan, bukan tidak mungkin kita akan kehilangan segalanya, mulai dari sawah, petani, hingga kendali atas pangan kita sendiri.

 

Tentang Penulis: Dwi Giatno, Ketua Umum Pengurus Cabang IKA-PMII Kabupaten Blora dan Sekretaris Lakpesdam PCNU Blora

*Opini di atas merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab Bloranews.com.