OPINI  

PERTANIAN ORGANIK: KUNCI KETAHANAN PANGAN SEJATI YANG TERABAIKAN

Foto: Dwi Giatno

Wacana ketahanan pangan kerap mengemuka, terutama saat harga bahan pokok melonjak atau isu impor kembali mencuat. Namun di balik semua narasi besar itu, ada satu fondasi penting yang luput dari perhatian serius: pertanian organik. Ia bukan sekadar metode tanam, melainkan sebuah laku hidup yang mencerminkan nilai-nilai luhur, termasuk spirit Rahmatan lil ‘Alamin, rahmat bagi seluruh alam. Ironisnya, model pertanian yang terbukti mampu menjaga bumi sekaligus menghasilkan pangan berkualitas ini justru belum mendapat tempat terhormat dalam kebijakan publik.

Ketika “Sehat” dan “Rahmat” Hanya Jadi Slogan

Kita sadar betul: apa yang kita makan menentukan kualitas hidup kita. Pertanian organik menjanjikan pangan yang bebas residu kimia, lebih bergizi, dan aman dikonsumsi. Lebih dari itu, praktik ini juga merawat tanah, melestarikan keanekaragaman hayati, serta mengurangi polusi air dan udara. Ini bukan sekadar gaya hidup hijau, tapi upaya nyata menjaga bumi sebagai amanah. Sebuah bentuk tanggung jawab moral dan spiritual yang tak hanya memikirkan manusia hari ini, tetapi juga generasi esok dan seluruh ekosistem.

Dalam kerangka ketahanan pangan, pendekatan organik menjawab tiga pilar utama: ketersediaan, aksesibilitas, dan pemanfaatan bergizi. Tanah yang sehat menghasilkan panen yang berkelanjutan. Produk yang aman dan alami membantu tubuh menyerap nutrisi secara optimal, mengurangi risiko penyakit akibat bahan kimia sintetis. Sementara pendekatan berbasis komunitas memperkuat distribusi lokal dan memperpendek rantai pasok. Semua ini selaras dengan visi ketahanan pangan sejati, bukan sekadar soal perut kenyang, tetapi juga tubuh sehat dan lingkungan lestari.

Lalu, mengapa janji besar ini belum mendapat porsi dukungan setara dari negara?

Inisiatif dari Akar Rumput, Negara Terlambat Hadir

Di berbagai pelosok tanah air, petani kecil diam-diam melakukan transformasi. Dengan modal terbatas dan semangat gotong royong, mereka beralih dari pupuk kimia ke kompos, dari pestisida sintetis ke pengendali hayati. Mereka menciptakan sistem distribusi sendiri, berbagi ilmu, dan saling menopang dalam komunitas. Inilah bentuk nyata kedaulatan pangan dari bawah.

Namun perjuangan mereka sering kali berjalan sendiri. Pemerintah, alih-alih hadir sebagai pendukung, justru kerap menjadi penghalang. Prosedur sertifikasi yang rumit dan mahal, penyuluhan yang tidak relevan, hingga minimnya dukungan anggaran menjadikan petani organik seperti bertarung di arena yang timpang. Program-program pemerintah masih lebih banyak menyasar pertanian berbasis input kimia dan skala besar, sementara model ramah lingkungan masih dianggap “alternatif pinggiran”.

Padahal, bila negara sungguh-sungguh mengusung semangat Rahmatan lil ‘Alamin dalam kebijakan pangannya, pertanian organik semestinya berada di garis depan.

Langkah Konkret Menuju Transformasi

Transformasi ketahanan pangan tak akan terjadi tanpa perubahan paradigma dan keberanian kebijakan. Pemerintah pusat hingga daerah perlu mengadopsi pendekatan yang berpihak pada keberlanjutan, keadilan, dan kesehatan rakyat. Beberapa langkah strategis yang mendesak untuk diambil antara lain:

Sederhanakan regulasi dan sertifikasi organik, khususnya bagi petani kecil. Gunakan pendekatan partisipatif seperti Participatory Guarantee System (PGS) yang lebih murah dan fleksibel.

Perkuat kapasitas penyuluh pertanian dengan pemahaman mendalam soal sistem organik. Pendidikan dan pendampingan yang membumi akan mempercepat replikasi praktik baik.

Fasilitasi akses terhadap input organik mulai dari pupuk kompos hingga benih lokal yang adaptif dan tahan hama. Petani butuh dukungan, bukan ketergantungan pada input kimia impor.

Prioritaskan anggaran untuk riset dan insentif bagi pertanian berkelanjutan. Ini investasi jangka panjang yang akan mengurangi beban biaya kesehatan dan kerusakan lingkungan di masa depan.

Buka akses pasar bagi produk organik, termasuk melalui platform digital dan jaringan ritel. Harga layak adalah kunci untuk keberlanjutan usaha petani.

Edukasi publik secara masif tentang pentingnya pangan sehat dan berkelanjutan. Kesadaran konsumen adalah kekuatan utama dalam mendorong perubahan sistem pangan.

Dari Pinggiran ke Arus Utama

Sudah waktunya pertanian organik tidak lagi dianggap sebagai praktik eksotis atau sekadar tren gaya hidup kalangan tertentu. Ia harus diposisikan sebagai arus utama dalam pembangunan pertanian dan ketahanan pangan nasional. Di tengah krisis iklim, degradasi tanah, dan ancaman kesehatan global, pertanian organik menawarkan solusi menyeluruh—bukan tambal sulam.

Menjadikan Rahmatan lil ‘Alamin sebagai prinsip kebijakan pangan berarti menempatkan keberlanjutan, keadilan ekologis, dan kesehatan kolektif di jantung pembangunan. Negara tidak bisa terus bertumpu pada retorika dan agenda jangka pendek. Diperlukan langkah konkret, dukungan nyata, dan keberpihakan yang tegas.

Jika tidak sekarang, mau kapan lagi?

 

Tentang Penulis: Dwi Giatno, Ketua Umum Pengurus Cabang IKA-PMII Kabupaten Blora dan Sekretaris Lakpesdam PCNU Blora.

*Opini di atas merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab Bloranews.com.