Dulu aku berada di tengah-tengah mereka. Aku ikut membangun, menyusun agenda, merancang program, berdiri paling depan saat panggilan pengabdian itu datang. Dalam ruang diskusi, aku bersuara lantang. Dalam kegiatan, aku menjadi motor. Tapi pada akhirnya, semua itu tak menjamin tempatku tetap ada. Satu waktu, aku menyadari: aku telah menjadi yang terbuang.
Tak ada pengumuman, tak ada rapat pembahasan, hanya perlakuan-perlakuan yang perlahan mengarah pada penghapusan. Namaku tak lagi disebut, pendapatku tak lagi didengar, langkahku bahkan tak lagi dihitung. Namun ironisnya, di balik semua itu, tenaga dan pikiranku masih dicari. Ketika bingung melanda, mereka datang dengan seutas senyum manis, “Mbak, menurut Mbak gimana ya baiknya?” Atau, “Mbak, bantuin ini dong, cuma Mbak yang paham.”
Awalnya aku diam. Antara marah dan ingin membuktikan bahwa aku tak selemah yang mereka kira. Tapi kemudian aku belajar satu hal: pengabdian yang tulus tidak selalu mendapatkan panggung, namun selalu punya nilai di ruang-ruang yang tersembunyi. Bahwa menjadi berguna tidak harus selalu berarti menjadi terlihat.
Maka aku pun memilih tetap menjadi pelita. Meski tak diletakkan di puncak menara, aku menyala di pojok ruangan yang gelap. Kupinjamkan pikiranku untuk mereka yang ingin belajar, kuberikan tenagaku untuk kegiatan-kegiatan yang membawa maslahat, tanpa menagih pujian, tanpa berharap kembali pada tempat lama.
Aku tahu, kadang yang membuat seseorang terbuang bukan karena kinerjanya yang menurun, bukan pula karena ia tak lagi punya niat berkontribusi. Tapi karena pilihan politiknya berbeda, cara pandangnya tak sejalan dengan arus yang sedang dominan. Padahal kita semua pernah sepakat, bahwa ruang kerja bersama seharusnya tidak tercemari urusan politik praktis.
Sayangnya, idealisme itu sering runtuh ketika kepentingan-kepentingan mulai berbicara. Maka lahirlah batas-batas semu, orang-orang dikelompokkan, dinilai bukan dari komitmen atau integritasnya, tapi dari keberpihakannya. Itulah saat di mana seseorang bisa terbuang, bukan karena tak layak, tapi karena dianggap berbeda.
Hari ini aku mungkin tidak berada di barisan depan. Tapi aku bahagia, karena aku tetap utuh dengan semangat, idealisme, dan cinta yang dulu membuatku bergabung dalam organisasi. Aku tetap menjadi bagian dari perubahan, meski tidak lagi menjadi tokoh utama.
Dan untuk setiap jiwa yang pernah terbuang: jangan pernah biarkan kecewa membuatmu kehilangan cahaya. Tenagamu, pikiranmu, dan hatimu tetaplah bernilai. Kadang, justru dalam keterbuangan itulah kita belajar menjadi penerang yang sejati, yang tidak tergantung pada panggung, tetapi tetap memilih untuk bersinar.
Tentang Penulis: Dhina Rizki Wulandari, aktivis perempuan Blora.
*Opini di atas merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab Bloranews.com.