Hari kemerdekaan yang seharusnya jadi momen sukacita di Desa Gandu, Kecamatan Bogorejo, berubah menjadi duka mendalam. Tanggal 17 Agustus 2025, sebuah sumur minyak yang dikelola warga meledak hebat. Api berkobar puluhan jam, tiga nyawa melayang, dua orang kritis, puluhan warga harus mengungsi. Bukan sekadar berita tragis, tapi alarm keras untuk Blora: bagaimana kita mengelola ribuan sumur minyak rakyat agar tidak jadi bom waktu?
Ribuan Sumur, Ribuan Risiko
Blora bukan pemain baru dalam dunia perminyakan. Sejak zaman Belanda, tanah ini sudah menjadi ladang minyak. Tapi sekarang, jumlahnya bikin geleng kepala, menurut pemberitaan, ada 4.143 titik sumur yang sedang diajukan legalisasi. Sebagian besar memang sumur tua, tapi banyak juga yang baru dibor belakangan ini, termasuk yang meledak di Gandu.
Bayangkan, ribuan titik itu tersebar dekat rumah, dekat kebun, dekat jalan. Kalau satu sumur saja bisa bikin desa panik, bagaimana kalau dua atau tiga meledak bersamaan? Ini bukan cuma soal minyak, ini soal nyawa.
Permen Baru, Tantangan Baru
Pemerintah pusat sebenarnya sudah mengeluarkan aturan baru: Permen ESDM Nomor 14 Tahun 2025. Intinya, sumur rakyat harus masuk skema legal, dikelola lewat BUMD, koperasi, atau UMKM berbadan hukum. Ada masa transisi empat tahun. Pemerintah janji semua akan diinventarisasi, kerja sama dengan KKKS, dan pakai standar Good Engineering Practices. Kata Juru Bicara ESDM:
“Akan ada daftar hasil inventarisasi sumur masyarakat. Kerja sama operasi dengan BUMD atau koperasi agar tata kelola lebih aman.”
Bagus di atas kertas. Tapi ledakan Gandu ini membuktikan satu hal: aturan sudah ada, tapi implementasi masih jauh panggang dari api.
Kenapa Masih Meledak?
Jawabannya sederhana tapi pedih: karena di lapangan, regulasi belum sampai ke masyarakat. Banyak sumur yang masih dikelola secara tradisional. Bahkan, kata Bupati Blora Arief Rohman:
“Sumur yang terbakar memang belum legal. Lokasinya di belakang rumah, jelas rentan bahaya. Saya imbau masyarakat tahan diri sampai izinnya beres.”
Masalahnya, proses izin tidak instan. Butuh biaya, butuh waktu, dan selama itu masyarakat tergoda untuk tetap mengebor. Harga minyak naik, ekonomi berat, dan peluang di depan mata terlalu menggiurkan. Jadilah kita hidup di atas bom waktu.
Bahaya yang Tak Terlihat
Sumur minyak bukan seperti sumur air. Tekanan, gas, minyak, semua bisa meledak kapan saja. Dan ketika meledak, bukan cuma operator yang kena, tapi tetangga, keluarga, dan lingkungan ikut terbakar. Ledakan di Gandu adalah contoh nyata. Esok, bisa saja sumur lain yang meledak. Siapa tahu?
Apa yang Harus Dilakukan?
Blora harus bergerak cepat. Jangan tunggu kejadian berikutnya. Beberapa langkah yang bisa jadi pegangan:
1. Moratorium pengeboran baru sampai aturan jalan. Jangan ada sumur baru sebelum tata kelola jelas.
2. Pendataan real-time: Jangan cuma di atas kertas. Semua titik harus masuk peta risiko.
3. Satgas pengawasan terpadu: melibatkan Pemkab, BUMD, kepolisian, dan perwakilan masyarakat.
4. Pelatihan dan alat keselamatan untuk warga pengelola sumur, minimal punya alat pemadam sederhana.
5. Skema koperasi migas rakyat yang nyata, bukan wacana. Pemerintah harus siapkan pendampingan dan akses modal.
Ledakan Gandu: Jangan Jadi Cerita yang Berulang
Blora tidak bisa menunggu. Permen ESDM 14/2025 harus segera punya gigi. Jangan berhenti di sosialisasi dan rapat. Gandu sudah memberi pelajaran pahit. Jika tidak berubah sekarang, siapa yang bisa jamin tidak ada “Gandu” lain minggu depan?
Karena pada akhirnya, sumur minyak bukan sekadar lubang di tanah. Ia bisa jadi sumber penghidupan, atau sumber petaka. Tergantung bagaimana kita mengelolanya.
Peraturan tanpa implementasi hanyalah kertas. Dan setiap keterlambatan adalah taruhan nyawa.
Tentang Penulis: Dwi Giatno, S.M, Ketua Umum Pengurus Cabang IKA-PMII Kabupaten Blora dan Sekretaris Lakpesdam PCNU Blora
*Opini di atas merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab Bloranews.com.