Program Makan Bergizi Gratis (MBG) dirancang pemerintah untuk meningkatkan gizi anak-anak. Namun, implementasinya menimbulkan kontroversi, terutama soal mutu dan keamanan makanan. Pro-kontra ini semakin tajam setelah banyaknya kasus keracunan siswa usai menyantap MBG di berbagai daerah.
Fenomena menarik muncul di SD Muhammadiyah 1 Ketelan, Solo. Para orang tua murid sepakat menolak MBG dan lebih memilih membayar Rp10 ribu per hari untuk makan sehat dari dapur sekolah. Selama lebih dari sepuluh tahun, dapur sekolah ini terbukti higienis, bergizi, dan belum pernah terjadi kasus keracunan. Bagi orang tua, lebih baik membayar Rp10 ribu dengan kualitas terjamin, daripada gratis tapi penuh risiko.
Kontrasnya, pemerintah mengalokasikan Rp15 ribu per porsi MBG. Secara hitungan, seharusnya makanan yang disajikan jauh lebih baik dari dapur sekolah yang hanya berbiaya Rp10 ribu. Namun kenyataannya, banyak pemberitaan justru menyoroti kasus keracunan, makanan basi, hingga distribusi yang tidak higienis. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar, ke mana perginya selisih Rp5 ribu per porsi itu?
Contoh lain datang dari SDIT Al Izzah, Serang. Wali murid menolak MBG karena sekolah sudah memiliki sistem katering sendiri. Mereka juga khawatir keberadaan dapur sentral MBG mengganggu kenyamanan dan keamanan lingkungan belajar.
Dua kasus ini memperlihatkan bahwa program nasional yang seragam seringkali tidak sesuai dengan konteks lokal. Ada sekolah yang sudah mandiri, ada pula yang benar-benar membutuhkan. Pemerintah seharusnya memberi ruang fleksibilitas, bukan memaksakan semua sekolah ikut pola sentralisasi.
Pelajaran pentingnya jelas, soal gizi bukan sekadar soal anggaran, melainkan soal tata kelola dan kepercayaan. Jika sekolah bisa menyajikan makanan sehat hanya dengan Rp10 ribu, maka anggaran Rp15 ribu seharusnya mampu menghasilkan kualitas jauh lebih baik. Kenyataannya, justru yang muncul adalah kecurigaan publik terhadap transparansi program.
Karena itu, pemerintah perlu segera mengevaluasi bahkan melakukan moratorium MBG sebelum meluas tanpa kendali. Model dapur sekolah berbasis komunitas terbukti lebih transparan, partisipatif, dan sesuai kebutuhan lokal.
Dengan cara itu, MBG bisa menjadi investasi gizi yang benar-benar bermanfaat, bukan sekadar proyek politik yang mahal namun miskin kualitas.
Tentang Penulis: Dwi Giatno, S.M., Ketua Umum PC IKA-PMII Kabupaten Blora dan Sekretaris Lakpesdam PCNU Blora
*Opini di atas merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab Bloranews.com.