OPINI  

PENDIRIAN KAMPUS UNY DI BLORA: SOLUSI PALSU, BEBAN BARU

Foto: Ilustrasi

Rencana pendirian kampus cabang UNY di Kabupaten Blora bukanlah jawaban atas persoalan pendidikan. Justru berisiko menambah daftar beban anggaran daerah, seperti hibah ke instansi vertikal yang terus membengkak.

Pemerintah Kabupaten Blora bersama Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) merencanakan pendirian kampus cabang di wilayah ini. Di atas kertas, inisiatif itu tampak positif, investasi di sektor pendidikan. Namun jika ditelisik lebih dalam, langkah ini justru berpotensi menjadi solusi palsu atas persoalan nyata masyarakat Blora.

 

Blora Tak Butuh Kampus Baru, Tapi Kesempatan Baru

Blora masih menghadapi masalah klasik: kemiskinan, rendahnya akses layanan dasar, dan ketimpangan pembangunan. Di tengah situasi ini, membangun kampus negeri lebih menyerupai proyek elitis yang tidak menjawab kebutuhan mendesak masyarakat.

Apalagi, pengalaman di daerah lain menunjukkan kampus cabang tidak selalu sukses. Contoh konkret adalah Program Studi di Luar Kampus Utama (PSDKU) Universitas Lampung di Way Kanan. Kampus ini kini sepi peminat, pada 2024 hanya 10 orang mendaftar. Akibatnya, perkuliahan dijalankan via Zoom atau dialihkan ke kampus utama di Bandar Lampung. Fasilitas kampus terbengkalai dan nyaris tak terpakai. Tanpa dukungan ekosistem pendidikan dan ekonomi, kampus cabang mudah sekali berubah menjadi bangunan kosong.

 

Tanpa Ekosistem, Ibarat Menanam Benih di Tanah Gersang

Pendidikan tinggi tak bisa berdiri sendiri. Ia butuh dukungan industri, budaya belajar yang hidup, dan peluang kerja yang nyata. Blora saat ini belum memiliki itu. Tanpa ekosistem tersebut, kampus cabang justru akan mencetak sarjana tanpa arah, menganggur di kampung halaman atau meninggalkan Blora tanpa kembali.

Pemerintah mestinya lebih fokus pada pelatihan vokasi berbasis potensi lokal (pertanian, migas, peternakan), beasiswa afirmatif, dan penguatan akses digital pendidikan. Itu jauh lebih strategis daripada membangun kampus baru yang belum tentu diminati.

 

Hibah: Dari Sinergi Menjadi Pemborosan?

Satu aspek yang harus dikritisi adalah rencana hibah dari Pemkab Blora untuk mendukung pembangunan kampus UNY. Ini bukan kebijakan yang berdiri sendiri. Dalam beberapa tahun terakhir, Blora memang sangat “royal” memberikan hibah kepada instansi vertikal.

Dari 2022–2024, tercatat lebih dari 8,6 hektare tanah dihibahkan kepada enam lembaga pusat: Kejari Blora, Polres, Korem 073, RS Bhayangkara (Polda Jateng), KPU, hingga BNN. Hibah ke Polres Blora paling dominan, sekitar 47 ribu meter persegi untuk perluasan gedung dan pos jaga. Tahun ini, hibah untuk kantor Imigrasi juga tengah dirancang.

Tak hanya lahan, hibah dalam bentuk dana juga melonjak. Tahun 2023, APBD Blora mengucurkan Rp13,7 miliar untuk instansi vertikal, angka yang jauh melebihi rata-rata tahun-tahun sebelumnya. Kejaksaan bahkan mendapatkan tambahan Rp7,8 miliar untuk pembangunan gedung baru, ditambah lagi Rp1 miliar tahun ini untuk penyelesaian lantai dua.

Padahal, instansi vertikal seperti Kejaksaan, Polri, dan BNN seharusnya menjadi tanggung jawab APBN, bukan APBD. Praktisi hukum seperti Kasibun Daulay bahkan menyebut pola ini sebagai bentuk “penyimpangan akuntabilitas anggaran negara”. Jika Pemkab menambah hibah untuk kampus UNY, ini hanya akan memperpanjang daftar belanja daerah untuk lembaga-lembaga pusat.

 

Pendidikan Tak Boleh Jadi Proyek Gengsi

Yang lebih mengkhawatirkan, pendirian kampus ini bisa jadi lebih berorientasi pada citra politik ketimbang urgensi sosial. Pendidikan tinggi tidak boleh direduksi menjadi proyek fisik. Ia harus menjadi alat pembebasan dan pemberdayaan. Jika hanya menjadi monumen prestise elite, kampus UNY Blora berisiko menjadi simbol kesia-siaan.

Blora tidak anti terhadap pendidikan. Tapi membangun pendidikan dengan cara yang salah justru bisa memperparah ketimpangan. Daripada membangun kampus baru dengan pola hibah yang boros, alangkah baiknya anggaran itu dialihkan untuk memperluas akses pendidikan, memperkuat program vokasi, dan menciptakan lapangan kerja berbasis potensi lokal.

Blora tidak butuh kampus simbolik. Yang dibutuhkan adalah kesempatan nyata untuk bangkit bersama.

 

Tentang Penulis: Miftah Khoirun Najib, Ketua Pimpinan Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Blora.

 

*Opini di atas merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab Bloranews.com.