fbpx

SASTRA DAN KORELASINYA TERHADAP SITUASI SOSIAL

Opini
Ilustrasi by Kompasiana.com

BLORANEWS – Di dalam kehidupan dunia ini kita tak dapat menafikan bahwa hubungan antara manusia dengan manusia lain merupakan suatu kebutuhan, dari skala perseorangan hingga merumpun menjadi suatu hubungan kemasyarakatan. Bahkan jika kesemuanya dapat dikategorikan satu-persatu akan cukup banyak ragamnya perkara saling hubungan tersebut. Atas dasar kebutuhan, manusia menjalankan norma-norma hidup dari yang secara tertulis maupun sekedar dibenak keyakinan. Terhadap hubungan yang terjalin antar individu, suatu hubungan dapat disebut sebagai hubungan sosial. Hubungan sosial ditekankan terhadap kegiatan interaksi antara manusianya dengan kontak sosial maupun komunikasi. Hubungan sosial digolongkan menjadi dua bentuk, di antaranya adalah hubungan sosial asosiatif dan hubungan sosial disosiatif. Untuk hubungan sosial asosiatif di dalamnya meliputi kerja sama, akomodasi, dan akulturasi dengan sifatnya yang positif dan menguntungkan keduabelah pihak. Sementara hubungan sosial disosiaif dapat dikatakan sebagai antitesa dari hubungan sosial asosiatif, dengan sifatnya yang negative secara signifikan dapat merugikan suatu pihak yang terlibat dengan hubungan sosial tersebut. Hubungan sosial disosiatif meliputi persaingan, kontoversi dan konflik. Terkait hubungan konflik, lebih jauh pernah dikonsepsikan menjadi bagian teoritis oleh Hegel hingga Karl Marx sebagai landasan berpikir yang biasa disebut sebagai filsafat dialektis yang bermula dari versinya yang paling klasik oleh Plato.

Sekiranya kita telah paham apa itu hubungan sosial, sepertinya perlu sedikit kita telaah apa yang dimaksud dengan ‘sastra’ itu, sebab banyak dari sebagian besar awam, bahkan di antara kita sering menggunakan atau mengujarkan istilah ini meski tidak paham betul apa arti daripada sastra itu sendiri. Terlebih lagi terhadap orang-orang yang mengakukan dirinya berprofesi sebagai penulis, terlepas dari karya yang telah dilahirkannya, namun jika dirinya sendiri sebagai pelaku daripada praktik literasi tidak paham betul terhadap dimensi literasi sebagai cakupan penilaian nilai-nilai etika dan estetika suatu karya sastra, dapat diibaratkan seperti seorang pelaut yang tidak pandai berenang.

Secara etimologis, istilah ‘sastra’ diturunkan dari bahasa latin literatura (littera = huruf atau karya tulis). Istilah tersebut digunakan untuk menyebut tatabahasa atau puisi. Dalam bahasa Indonesia, istilah ‘sastra’ merupakan kata serapan dari bahasa Sansekerta yakni Sas- yang berarti mengajar, memberi petunjuk atau mengarahkan, sementara pada akhiran; -tra biasa mengacu terhadap alat atau sarana. Terlepas dari perkembangnnya dalam sastra modern, yang kemudian sastra sebagai salah satu produk kebudayaan hanya sekedar digunakan sebagai media untuk mengungkapkan ekspresi dan kerisauan bagi orang-seorang atas dalih perasaan haus akan nilai-nilai estetika.

Terlampau banyak sebagian besar dari kita menafikan atau bahkan tak mengindahkan sama sekali keberadaan sastra sebagai kompartemen dengan tugas yang penting bagi yang menjalankannya jika sudah paham betul dengan fungsi-fungsi pokoknya. Seperti dalam satu organisasi, pembahasan mengenai sastra bahkan induknya yang lebih kompleks yakni Kebudyaan tidak jauh lebih penting dari pembahasan politik maupun ekonomi. Sempat saya pertanyakan, mengapa demikian?. Hingga sejauh yang saya pahami dari polah tingkah dan hasil pembacaan saya terhadap kondisi aktual, sebab pada masa ini sastra kurang diberi ruang gerak yang luas, oh tidak, ruang gerak sastra sedari mulanya sudah sedemikian luas namun karena dakwaan dan tekanan sejarah, sekarang diputus secara paksa keluasannya itu. Salah satunya karena pengaruh keberhasilan agitasi Manifesto Kebudayaan yang mengusung humanisme universalnya terdahulu, dengan roman-roman cintanya yang melawan realitas untuk memenangkan idealisme yang kemudian hasil-hasil karyanya hanya dapat menyentuh kalangan berduit saja.

Sastra yang saya pahami bukanlah sekedar penulisan dongeng maupun pengejawantahan imajinasi orang-seorang semata. Melainkan menjadi paparan daripada kontradiksi yang terjadi dari situasi sosial yang tengah berlangsung, setelah seorang penulis maupun seniman melakukan pembacaan dengan keterlibatannya melalui hubungan sosial sebagaimana masyarakat menjalani kehidupan sehari-hari atau bahkan seorang penulis tersebut telah menjadi bagian dari masyarakat sejak mulanya. Di mana seorang penulis dihadapkan oleh situasi sosial secara langsung, dapat membahasakan keadaan konkret ke dalam bentuk karya sastra dengan nilai-nilai estetika yang tidak boleh sama sekali diingkari, begitupula sikapnya terhadap kebenaran,

Dalam hal ini, hubungan sosial menjadi penentu bagaimana suatu karya sastra itu lahir, apakah menjadi karya yang hanya berdasar pemenuhan pasar kalangan berduit? Atau menjadi karya sastra yang dapat menyentuh semua kalangan, termasuk yang paling bawah?. Kalau situasi yang menjadi bahan bahasan dalam proses berkarya dari hubungan sosial yang memiliki nilai-nilai kemasyarakatan yang sesuai dan selaras secara kontradiksi yang di alami oleh kalangan tertentu serta perlunya penyadaran daripada situasi sosial atas kontradiksi yang dialaminya tersebut, maka sudah tentu dapat menyentuh kalangan yang mana suatu karya sastra tersebut.

Demikianlah terjadinya korelasi antara sastra tatkala situasi sosial tengah berlangsung,. Jadi, sastra sebagaimana salah satu produk dari kebudayaan bukan saja dapat digunakan sebagai alat daripada agitasi-agitasi propaganda oleh masing-masing tuntutan dan kepentingannya, melainkan sesuai dengan asal-muasal kata serapannya dari bahasa Sansekerta, yakni Sas- yang artinya mengajar, mengajar yang dapat kita pahami sekaligus sebagai suatu tindakan penyampaian, yang tidak lain sebagai tindakan untuk menyampaikan adanya suatu situasi sosial yang tengah berlangsung di suatu kedudukan masyarakat, kepada kedudukan masyarakat lain yang selaras dan sekeadaan mengalami situasi atas kontradiksi yang barangkali serupa.

Tentang penulis: Muhammad Yusril adalah mahasiswa asal Dukuh Doglig, Desa Cokrowati, Kecamatan Todanan, Kabupaten Blora yang kini menempuh pendidikan di Universitas Janabadra Yogyakarta.

*Opini di atas merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab Bloranews.com

Verified by MonsterInsights