Gelombang protes besar di Pati pada 13 Agustus lalu bukan sekadar catatan peristiwa. Ia menjadi titik balik yang menunjukkan bahwa rakyat sudah tidak lagi pasif ketika merasa diperlakukan tidak adil.
Setelah Pati, muncul gejolak serupa di berbagai daerah seperti Banyuwangi, Jombang, Cirebon, dan mungkin akan terus bertambah. Fenomena ini memberi pesan jelas, protes bisa efektif.
Jika kepala daerah tidak segera membaca tanda-tanda zaman, mereka sedang menunggu giliran didemo rakyatnya.
Apa yang Terjadi di Pati?
Semua bermula dari kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB-P2) hingga 250 persen. Kebijakan ini diambil mendadak, tanpa komunikasi yang memadai. Warga kaget, ekonomi sedang sulit, dan mereka merasa tidak diajak bicara. Situasi kian panas ketika pernyataan bupati dianggap arogan dan menantang rakyat: “Silakan demo. Jangankan 5.000 orang, 50.000 silahkan kerahkan, saya tidak gentar. Saya tidak akan mundur satu langkah pun.”
Kalimat itu mungkin dimaksud untuk menunjukkan ketegasan, tetapi justru menjadi bahan bakar kemarahan. Akhirnya, puluhan ribu orang turun ke jalan. Kebijakan PBB dicabut, permintaan maaf disampaikan, tetapi krisis kepercayaan sudah terlanjur melebar.
Pelajaran pentingnya jelas: kebijakan yang menyentuh perut rakyat tidak bisa dijalankan tanpa komunikasi yang baik.
Rakyat Sudah Belajar, Pemimpin Kapan?
Demo Pati bukan hanya memecahkan rekor jumlah massa, tetapi juga menciptakan efek psikologis di seluruh Indonesia. Warga daerah lain yang sebelumnya diam kini punya contoh nyata: kalau Pati bisa memaksa perubahan, mengapa kita tidak?
Fenomena ini disebut contagion effect. Satu keberhasilan protes bisa menginspirasi daerah lain. Apalagi di era media sosial, satu video viral saja cukup untuk memantik aksi serupa. Rakyat kini sadar: protes kolektif adalah alat negosiasi yang sah.
Lima Pelajaran untuk Kepala Daerah
Kasus Pati bukan sekadar berita, tapi cermin. Ada lima pelajaran utama yang bisa dipetik kepala daerah:
1. Transparansi itu Wajib.
Naikkan pajak? Bisa saja, asal dijelaskan alasan dan dampaknya. Jangan mendadak.
2. Sosialisasi Bukan Formalitas.
Unggah PDF di website itu bukan sosialisasi. Turun ke lapangan, dialog dengan warga, dengarkan aspirasi mereka.
3. Jaga Bahasa, Hindari Arogansi.
Pernyataan arogan adalah bumerang. Dalam politik, kata-kata bisa lebih berbahaya dari kebijakan.
4. Utamakan Prioritas yang Masuk Akal.
Warga bukan hanya menolak kenaikan PBB, tapi juga proyek mercusuar yang dinilai tidak penting. Saat rakyat susah, proyek citra adalah bahan bakar kemarahan.
5. Bangun Partisipasi Publik.
Libatkan DPRD dan masyarakat sejak awal. Semakin partisipatif, semakin kecil potensi konflik.
Kalau Tidak Mau Belajar, Bersiaplah Menanggung Biaya Sosial
Jika para kepala daerah menganggap demo Pati hanya peristiwa lokal, mereka salah besar. Ini bukan sekadar soal pajak, tapi soal krisis kepercayaan. Rakyat makin berani, media makin cepat, dan ekonomi rakyat sedang sulit.
Belajar dari kesalahan orang lain jauh lebih murah daripada menunggu ribuan orang mengepung kantor sendiri. Pati sudah membuktikan betapa mahal harganya: melelahkan, merusak citra, dan sangat sulit dipulihkan.
Kesimpulannya sederhana: bukan cuma rakyat yang belajar dari demo Pati. Para kepala daerah juga harus belajar dan sebaiknya segera, sebelum tumpukan kardus air mineral berjajar rapi di depan kantor bupati.
Tentang Penulis: Dwi Giatno, S.M, Ketua Umum Pengurus Cabang IKA-PMII Kabupaten Blora dan Sekretaris Lakpesdam PCNU Blora
*Opini di atas merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab Bloranews.com.