OPINI  

CERITA DARI BLORA UNTUK MBAH MUN

Kenangan Tiada Terperi

Saya benar-benar teringat, sepeninggal Abah saya, Mbah Mun masih kerap mampir ke rumah dan bertemu dengan kakak saya, KH Imam Muzakka Ihsan. Saya ditinggal wafat Abah saya ketika duduk di klas 4 sekolah dasar.

Jadilah saya menyandang sebagai yatim. Belum lama saya tersemat sebagai yatim, suatu petang menjelang maghrib, Mbah Mun tiba-tiba datang ke rumah dan langsung menuju ke mushola. Saat itu, saya sedang mengaji.

Mbah Mun berjalan mendekati saya dan lalu memegang dan mengelus-elus kepala saya seraya berdoa. Mbah Mun komat-kamit melantunkan doa yang saya waktu itu belum paham apa-apa. Yang saya tahu, doa berbahasa Arab dan diucapkan beliau dengan fasih dengan timbre suara yang khas.

Mbah Mun tentu mafhum, bagaimana memperlakukan seorang anak yatim sesuai ‘dalil syar’i’  terlebih  ‘yatim anyaran’  seperti saya waktu itu.

Setelah wafatnya Abah saya, saya masih sering diajak kakak saya sowan ke Mbah Mun di Sarang. Sekedar silaturahmi karena kerinduan dan demi meneruskan   pertalian kekerabatan. Dan juga kadang ada keperluan praktis untuk minta wejangan dari Mbah Mun.

Mbah Mun juga masih kadang mampir ke rumah saya dan ketemu dengan kakak saya. Saya yang kala itu masih ‘anak ingusan’ tak jarang ikut nimbrung setelah mencium keduabelah tangan Mbah Mun.

Dalam satu kesempatan, saya yang saat itu berstatus mahasiswa berdua bersama kakak saya sowan ke Mbah Mun. Sore saya tiba di Sarang dan langsung menuju rumah Mbah Mun yang berimpitan dengan gothakan santri.

Ruang tamu Mbah Mun sejak dari kecil saya hingga saya dewasa masih tampak tak berubah. Sederhana namun memancarkan sinaran keakraban dan keberkahan. Beruntung, tamu sepi. Saya dan kakak saya langsung diterima Mbah Mun.

Jadi hanya bertiga di ruang tamu. Setelah sekira hampir satu jam, saya dan kakak saya mohon diri pamit. Sebelum pamit, tak disangka Mbah Mun memberikan doa pada saya. Padahal saya tidak minta doa ke Mbah Mun.

Mungkin Mbah Mun yang sudah ‘ma’rifat’  dan ‘mukasyafah’ ini tahu apa yang dibutuhkan untuk jadi pegangan buat saya yang dhoif ini. Saya pun diimlak untuk merapalkan doa. Aneh, doa yang diberikan Mbah Mun ke saya itu kok ‘hibrid’, alias campuran pakai bahasa Jawa dan sedikit Arab.

Bismillahi kun fayakun, ngrekso dining Allah, jinogo diniing malaikat papat, pinayungan dining poro nabi……………… Mbah Mun berpesan agar doa itu dibaca khususnya saat mau pergi atau ada hal-hal yang mendesak. Hingga kini, doa itu masih terus saya lafalkan.

Waktu terus berjalan. Selang puluhan tahun, ibu saya menyusul Abah saya, dipanggil oleh Sang Kekasih Sejati, Allah Robbul Alamin. Saat itu, saya baru menyelesaikan fresh graduate dari Yogya. Pagi-pagi saat jenazah ibu saya dimandikan, Mbah Mun mendadak hadir bertakziah.

Saya yang masih limbung meratapi kepergian ibu saya itu cukup dibuat kaget. Kontan saya menghampiri Mbah Mun dan langsung duduk bersimpuh dipangkuan Mbah Mun sambil menangis sejadi-jadinya. Saya ciumi tangan dan lutut beliau. Beliau merangkul saya dengan menundukkan kepala seraya memanjatkan doa.

Acara haul untuk Abah saya yang dihelat setiap tahun kala itu, sudah langganan mengundang Mbah Mun—istilah populer dilingkungan santri—sebagai  pemberi mauidzhoh hasanah alias penceramahnya. Dan Mbah Mun selalu memprioritaskan datang biarpun ada undangan pengajian lain.

Pengajian menjadi daya tarik sendiri dengan menghadirkan Mbah Mun, sehingga selalu dijubeli ribuan pengunjung. Menariknya, dalam setiap ceramahnya di haul tersebut, Mbah Mun mengudar sejarah dari mulai ‘Babad Tanah Timur Tengah’  hingga ‘Babah Tanah Nusantara’. 

Sejarah Timur Tengah disesambungkan dengan sejarah nusantara. Mbah Mun begitu hafal di luar kepala bahkan untuk urusan lekuk-lekuk wilayah negeri dari Irak sampai Saudi. Padahal waktu itu masih sangat langka da’i yang mampu menjelaskan sejarah seperti itu.

Sekarang memang tumbuh penceramah yang konten ngajinya mengulas soal sejarah nusantara. Kita bisa mudah tonton lewat youtube. Pastinya, Mbah Mun sudah merintis jalan sebagai ‘pionir’ dalam mewedarkan tentang sejarah nusantara yang kini memunculkan eforia Islam Nusantara.

Ala kulli hal, kita kehilangan tokoh bangsa yang bijak bestari, yang bisa diterima disemua kalangan. Saya cukup tersentak mendapat kiriman WhatsApp dari seorang eks napiter dari Poso ucapan bela sengkawa atas wafatnya Mbah Mun. Banyak pula para ‘Ikhwan’ yang mengirim ucapan senada. Mereka merasa kehilangan ulama panutan, kendati tidak berasal dari ‘jaringan’  keulamaan yang dirujuk mereka.

Yah, jejak-jejak hikmah Mbah Mun bila ditulis seolah tiada habisnya. Di ujung remujung ini, izinkan saya menumpahkan penyesalan. Tahun 2011, saya didapuk untuk menulis biografi Mbah Mun. Outline sudah saya siapkan dengan rapi jali.

Dua kali saya ke Sarang dan sudah siap berlama-lama ngendon di sana untuk waawancara dan menghimpun data. Gus Kamil putra Mbah Mun yang nikah dengan saudara saya sudah siap ‘menampung’  saya tidur di rumahnya.

Tapi apa dikata, gatot, gagal total, gara-garanya, ‘funding’ tidak jadi mengucurkan dana. Duh biyung, bukan lantaran itu saya menyesal, tapi gara-gara ‘niat’ saya yang cari ‘proyek’.  Maaf kan Mbah Mun. Lahu Alfatihah.  

Oleh: Soffa Ihsan  

hanyalah seorang Marbot di Lembaga Daulat Bangsa (LDB) dan Rumah Daulat Buku (Rudalku), Komunitas Literasi Eksnapiter.