fbpx
OPINI  

DEG DEG PYOH….

Dalhar Muhammadun
Dalhar Muhammadun
Yang tak terlupa dari Temu Ageng Sedulur Sikep
Temu Ageng Sedulur Sikep (TASS) selesai digelar, Minggu sore, 22 September 2019 di kampung Sedulur Sikep Blimbing, Desa Sambong Rejo, Kecamatan Sambong, Kabupaten Blora. Amrih Widodo,  Antropolog dari The Australian National University Canberra, yang telah meneliti masyarakat Sikep sejak 1989, menyebut pertemuan itu sebagai momentum bersejarah karena merupakan pertemuan terbesar sejak seratus tahun lebih. Saya pribadi menerka label “ter” itu didasarkan atas jumlah yang hadir dan keterwakilan dari simpul-simpul komunitas sikep yang tersebar di Blora, Kudus, Pati, Rembang dan Bojonegoro. Apalagi pertemuan itu juga mengusung dua agenda penting yakni ngumpulno balung pisah dan nyocokno yaitu cara sedulur-sedulur Sikep yang sudah mentradisi, dalam rangka tukar pikir dan informasi, konfirmasi ataupun klarifikasi hal-hal tertentu di antara mereka.
Kebiasaan nyocokno bagi masyarakat sikep acap kali dilakukan antar perseorangan ataupun kelompok kecil, namun kali ini terjadi dalam forum rembug yang cukup besar.
Dalhar Muhammadun
Dalhar Muhammadun
Terlepas dari keragaman apresiasi atas gawe tersebut –sebagai penyelenggara– proses menuju TASS, diwarnai dengan apa yang saya rasakan sebagai deg-deg pyoh…. 
Pertama adalah ketika diputuskan bahwa salah satu kegiatan yang akan dilaksanakan dalam rangkaian Cerita dari Blora 2019 adalah Temu Ageng Sedulur Sikep. Sontak ini membuat hati deg-degan…  Betapa tindak, TASS berarti ngumpulno sedulur-sedulur sikep dalam jumlah banyak, dan terbayang betapa panjang dan renik-renik yang harus dilakukan untuk mewujudkan itu.
Bagi yang sudah sering sesrawungan dengan mereka bisa jadi itu bukan persoalan, tapi bagi saya yang hanya sedikit kenal dan belum nyedulur, tentu adalah PR serius yang tidak mudah dikerjakan. 
Lazim diketahui khalayak, Wong Sikep adalah sekelompok orang yang hidup sederhana, jujur sejujur jujurnya, mandiri, kukuh berpendirian, bersikap baik terhadap orang lain bahkan terhadap alam lingkungannya. Tak ayal, cara hidup yang semacam ini, telah banyak memungut penghormatan dari orang lain, dan bersumber dari penghormatan itu pula, satu episode deg deg pyoh itu muncul di benak. 
Deg-deg pyoh itu cukup beralasan, karena sebelum menawarkan TASS kepada sedulur-sedulur Sikep, mestinya kami memiliki kedekatan yang memadai dan pengetahuan yang cukup tentang mereka, dua hal yang tidak mungkin terwujud secara instan. Bekal yang compang-camping dan waktu yang sangat terbatas, membuat beberapa langkah dihantui ketakutan dan keraguan yang kami semai sepihak. Takut salah ucap, khawatir salah langkah. Beruntung, itu tidak terus berlarut dan cara ‘jadul’ yang amat sangat sederhana menjadi pilihannya. Jalan pintas itu berupa keyakinan kita sendiri, bahwa sedulur-sedulur Sikep adalah orang-orang baik. Maka ketika kami berniat baik, pasti mereka akan menerima dengan baik juga. Sekali lagi; niat baik pasti akan diterima baik oleh orang-orang baik.