Tantangan Perbankan Syariah
Dalam digital economy saat ini, Perbankan Syariah dituntut untuk bisa beradaptasi agar bisa bersaing dengan Perbankan Konvensional. Sebab pilihannya hanya ada dua yakni bertahan atau ikut dalam kompetisi persaingan.
Jika melihat sebuah peluang yang ada di Indonesia, seharusnya Perbankan Syariah bisa melebarkan sayapnya untuk melambung tinggi. Betapa tidak, dengan label syariah atau lekat dengan agama Islam adalah salah satu poin plus bagi Perbankan Syariah.
Kita tahu, bahwa mayoritas masyarakat Indonesia beragama Islam. Berdasarkan data yang dilansir dari The Pew Forum on Religion & Public life jumlah masyarakat yang menganut agama Islam sebesar 209,1 juta jiwa atau sekitar 87,2 persen dari total jumlah penduduk. Ditambah lagi dengan adanya peluang untuk meningkatkan layanan melalui teknologi yang ada.
Selain itu berdasarkan data yang dihimpun dari Otoriritas Jasa Keuangan (OJK) dalam Statistika Perbankan Syariah Mei 2019, mengungkapkan hingga saat ini, jumlah Bank Umum Syariah (BUS) sedangkan yang masih berbentuk Unit Usaha Syariah (UUS) sebanyak 20.
Dari data tersebut, perkembangan Bank Syariah di Indonesia cukup bisa dikatakan berkembang dengan pesat. Dihitung dari awal mula sejarah Bank Syariah di Indonesia, yakni diawali dengan berdirinya Bank Muamalat pada 1 November 1991.
Meskipun begitu dalam mewujudkan sebuah visi untuk memajukan Perbankan Syariah sudah pasti dibarengi dengan beberapa kendala, yakni tingkat literasi masyarakat yang masih rendah. Dengan mengacu data dari OJK, indeks literasi keuangan syariah di Indonesia 8,11 persen dan indeks inklusi keuangan syariah hanya 11 persen. Dengan data perbandingan, indeks literasi keuangan secara nasional sebesar 29,66 persen, sedangkan inklusi keuangan 67,82 persen.
Keadaan literasi yang rendah tersebut, seyogyanya menjadi pekerjaan rumah bagi Perbankan Syariah supaya bisa memajukan Perbankan Syariah dalam kancah nasional maupun internasional.