fbpx

MELIHAT PRAMOEDYA ANANTA TOER LEBIH DEKAT, SASTRAWAN DUNIA KELAHIRAN BLORA

Pramoedya Ananta Toer
Maestro sastra kelahiran Bloora, Pramoedya Ananta Toer

Blora, BLORANEWS – Karya-karya sastrawan dunia kelahiran Kabupaten Blora, Pramoedya Ananta Toer telah menyebar sampai pelosok dunia. Sekian banyak dari karyanya masih sangat relevan untuk dikaji dan dikembangkan oleh anak muda masa kini. 

Sialnya, di kota daerah kelahirannya, kajian-kajian tentang Pramoedya Ananta Toer tidak begitu rutin dan banyak digelar. Padahal sebagian masyarakat sangat mengagumi karya Pram, karya sastranya terkenal di Indonesia dan mancanegara.

Seorang peneliti muda, Muhammad Faisal memandang, apabila kajian-kajian tentang Pram dilakukan secara rutin, tidak menutup kemungkinan para Pramis (sebutan penggemar Pram) akan berbondong-bondong untuk mendatanginya. Blora sebagai kota kelahiran Pram, akan lebih dikenal masyarakat luas karena adanya potensi tersebut.

“Harusnya jadi daya tarik wisata, jadi daya tarik literasi orang mau mengerti Pram. Kalau mau mengerti tentang karya-karya besar Pram, sebagaimana kisah-kisah itu yang basisnya tentang kemanusiaan, ya harusnya datangnya ke Blora dan harusnya itu jadi identitas kota Blora,” ucapnya saat ditemui di Blora belum lama ini. 

Sosok Pramoedya Ananta Toer yang pernah menjadi Google Doodle ini, dua dari sekian banyak karyanya telah dialihmediakan ke sebuah film berjudul Bumi Manusia dan Perburuan. Film ‘Bumi Manusia’ diperankan oleh Iqbaal Ramadhan. Sedangkan film ‘Perburuan’ diperankan oleh Adipati Dolken.

Faisal menilai, karya-karya Pram masih sangat relevan untuk dikaji dan dikembangkan oleh anak-anak muda masa kini. Bahkan, di ibu kota Jakarta, beberapa karya Pram masih terus dikaji ataupun dibaca oleh pemuda-pemudi yang ingin tahu tentang sastra Pram pada masa itu. Buku-bukunya ditempatkan di rak-rak terdepan.

“Yang dicari malah sebetulnya kajian-kajian yang ngaji Pram, itu masih minim. Jadi bukunya dibaca jelas, tinggal pembedahannya saja,” imbuh dia yang juga seorang doktor psikologi sosial politik.

Faisal yang merupakan penulis buku Generasi Phi dan Generasi Kembali ke Akar mengucapkan, paham kiri yang disematkan kepada Pramedya Ananta Toer oleh pemerintahan waktu itu tampaknya sudah tidak menjadi pembahasan penting bagi anak-anak muda saat ini. Negara yang kala itu dikenal sebagai negara komunis maupun sosialis identik dengan paham kiri, tak sepenuhnya menerapkan sistem pemerintahan seperti itu.

“Ya kalau sekarang kan paham kiri sudah dianggap tidak ada, kiri yang mengarah kepada revolusi gitu ya, karena negara-negara komunis pun sekarang sudah mengadopsi sebagian sistem ekonominya menjadi kapitalis, ya Rusia ya China,” kata dia.

Paham kiri, lanjut Faisal, sekarang berusaha diterjemahkan menjadi gerakan yang berbeda. Misalnya paham kiri kalau di Amerika atau di Eropa cenderung arahnya ke gerakan lingkungan hidup atau anti industri.

Founder Youth Laboratory Indonesia tersebut bahkan meluangkan waktunya selama beberapa hari pada bulan Agustus di Kabupaten Blora untuk melakukan riset kualitatif tentang kehidupan dan literasi anak-anak muda Blora.

Selama berada di Blora juga sempat berkunjung dan berbincang dengan Soesilo Toer, adik dari Pramoedya Ananta Toer di rumah pribadinya. Namun, selama bertemu dan berbincang dengan Soesilo Toer, dirinya cukup menyayangkan kondisi dari kakek yang usianya lebih dari 80 tahun itu.

“Aku sangat menyayangkan kondisi rumahnya, yang sebetulnya Mbah Soes itu menyimpan banyak begitu memori kolektif sejarah dan peristiwa, yang sebetulnya aku berpikir bila memang kondisi rumah lebih bersih gitu kan, dan ada secara rutin direkam dan kita perlu lho merekam tokoh-tokoh sepuh kita itu,” terangnya.

“Kisah-kisah mereka walaupun kadang berulang dan kadang sepele, tapi kalau kita rekam dengan video dan itu menjadi konten yang nanti terdokumentasi dengan baik, itu menjadi menarik dan bisa membuat orang dari luar kota itu pengin datang ke rumah dan perpustakaan itu,” sambungnya.

Faisal berharap, apabila anak-anak muda Blora mengkaji tentang Pram, maka tak menutup kemungkinan Blora akan dikenal lebih luas lagi sebagai kota literasi dan dapat berkembang lebih pesat lagi.

“Kayak misalnya pameran Pram yang ada di Jakarta yang sampai di extend dua kali, kalau enggak salah sempat diadakan juga di Surabaya, harusnya benda-benda yang ada di pameran itu balik ke Blora, dan jadi museum di sini dan jadi tempat pengajian Pram, ngaji tentang Pram, ngaji tentang keindonesiaan,” jelasnya.

Ia mencontohkan, di Sumatra Barat kajian-kajian Tan Malaka marak dikaji oleh anak-anak muda.

“Tapi basisnya bukan untuk pemberontakan atau revolusi konteksnya, tapi untuk mengkritisi zaman yang semakin industrialis, semakin orientasi profit atau mengkritisi manusia yang semakin individualis,” paparnya. (Ary).