fbpx
OPINI  

MEMBACA UAS

Soffa Ihsan
Soffa Ihsan

Papua kisruh lalu ada ‘goreng menggoreng’ dan terjadilah ‘bakar-bakaran’. Belum usai, tetiba muncul ribut-ribut soal ceramah Ustadz Abdul Somad atau UAS. Begitu viral, langsung menyedot perhatian banyak warganet.

 

Soffa Ihsan
Soffa Ihsan

 

Kegaduhan langsung menjadi-jadi di ‘dunia maya’.  Pro dan kotra pun berhamburan. Ajibnya, seruan ‘siap jihad’ pun kembali membahana. Apa yang diceramahkan ustadz lulusan Universitas Marokko dan al-Azhar Kairo yang kini sedang menempuh pendidikan doktoral di Sudan ini dipandang sebagai bentuk ujaran kebencian terhadap agama lain. Ini dipicu dari pertanyaan jamaah tentang salib yang lalu dijawab UAS dengan tanpa tedeng aling-aling seraya mengutip ayat al-Quran.

Saya tidak ingin baper dalam pekik-pekik dan saling-silang pandangan atas apa yang telah diruapkan oleh sosok ustadz yang kental dialek Melayu-nya ini. Saya sendiri dulunya penikmat ceramahnya UAS yang diawal-awal kemunculannya ‘sabetan’  argumentasinya sempat membuat para ustadz dan jamaah puritan kena ‘skak mat” dan klepek-klepek. 

Saya tertarik saat UAS bicara tentang ‘perbandingan madzhab’.  Saya yang terlahir dari lingkungan ‘penganut madzhab’  sempat bangga dan bisa menyesap soal madzhab dengan lebih luas. Jadi saya tidak perlu baca kitab al-Fiqh Ala Madzhibul Al-Arba’ah rakitan Syeikh Abdurrahman al-Jaziri yang menjadi  ‘kudapan wajib’ bagi santri, cukup ngaji ke UAS bereslah.

Malah, begitu mendengar jabaran UAS soal fikih ini, saya menyadari betapa pengetahuan saya minim sekali. Walaupun saya pernah belajar di pesantren, namun setelah tinggal di Jakarta,  ilmu yang pernah saya pelajari itu berasa ‘menguap’. Mungkin ini gegara saya lebih banyak baca buku-buku ‘duniawi’ dan ‘kebarat-baratan’. Ampun-ampun.

  Kali ini, manakala UAS berkomentar soal ‘keyakinan pihak lain’, jujur saya merasa ‘ngeri’. Ya memang ceramah yang beginian ini bagai gunung es. Yang tampak kasat mata hanya sedikit dibanding yang tak tampak.

Ceramah-ceramah yang saling ‘mengecilkan’  agama lain jamak bertebaran dan kita saksikan di youtube. Di internal agama saja bukan rahasia lagi, saling tuding menuding tentang ‘kebenaran’ madzhabnya seringkali mengoyak. Namanya saling sesat menyesatkan menjadi hal biasa.

Tak jarang bahkan ‘kopi darat’  berdebat dengan merujuk kitab-kitab sandarannya. Malahan juga, ada tawuran antar kelompok hanya gegara masalah furuiyyah. Duh gusti, sebenarnya sengketa soal ‘ranting-ranting’  ini kan bisa diselesaikan lewat ngopi. Kenapa harus galak-galakan?

Lha, inilah yang bikin ‘jantungan’ bila sentilan-sentilun merambah ke antar agama. Kalau masing-masing pemeluk agama meyakini kebenaran agamanya itu ‘hak’  yang melekat. Masalahya, bagaimana ‘hak’ nya itu disalurkan. Keseleo lidah saja dianggap kebablasan yang akhirnya membuat kuping panas.

Di berbagai belahan dunia apa yang disebut ’konflik agama’  telah menorehkan ‘tinta hitam’ bagi perjalanan peradaban umat manusia. Kita hanya bisa mengelus dada. Untuk mendinginkan pikir, saya coba baca kitabnya Jalaludin Rumi “Fihi Ma Fihi”. Saya terpincuk pada aforismenya,”Malaikat selamat karena pengetahuannya. Binatang selamat karena ketidaktahuannya. Dan anak cucu Adam akan selalu bersengketa dengan hal itu”.

Saya cukup kaget membaca komentar UAS yang memicu tuduhan menyinggung agama Kristen itu. Sosok sekaliber UAS kok terasa ‘hambar’  ketika menjelaskan ayat tentang pandangan al-Quran terhadap keyakinan Kristen.

Terasa ‘literal’ penjelasan UAS. Saya yang menyimak merasa ada ‘sesuatu’  yang mengganjal. Tiba-tiba, meletuplah respon unyu-unyu saya. Kalau model begini penjelasannya, gak perlu belajar jauh sampai Timur Tengah. Cukuplah ngaji di pesantren seperti di Lirboyo, Tebuireng atau Sarang, santri sudah mendapatkan satu paket  ‘Matan’, ‘hasyiyah’  dan  ‘syarah’  terhadap tafsir ayat tersebut.

Lagian pula, saya bandingkan ceramah UAS kok beda dengan ceramah seperti dari mendiang KH Zainudin MZ, atau Gus Baha’ dari Rembang atau juga   KH Buya Syakur dari Indramayu yang begitu teduh saat bicara tentang agama lain. Kesadaran untuk menjaga ‘ukhuwah basyariyah’ dan ‘ukhuwah wathoniyah’  menjadi terpelihara dengan ucapan yang lembut dan berdasar ilmu. (wa qulu qaulan sadidan).

Lagi suntuk merenungi UAS, saya dapat kiriman lewat Wassapp tulisan Profesor Mun’im A Sirriy, orang Indonesia yang mengajar di sebuah universitas di Amerika. Tulisan keren yang bahas seputar ‘Salib dalam keyakinan Kristen” tersebut sebagai respon terhadap ceramah UAS kali saja. 

Profesor asal Madura yang hijrah ke Amerika ini memang dikenal pakar dalam sisik melik perbandingan agama. Terkhusus agama Kristen yang ‘sesaudara’  dengan agama Islam. Dalam tulisannya itu, terlihat sekali uraiannya yang sangat eksploratif dengan menggunakan rujukan buku-buku babon. Intinya, Sang Profesor itu hendak ‘meluruskan’ dan ‘memperluas’ secara akademis. Haqqul yaqin, pastilah itu hasil hasil penelitian bertahun-tahun.

Setelah baca tulisan profesor itu, sontak pula saya ‘sudah loyo ketiban loyo’. Otak  makin lemot. Alamak! Saya makin menjadi-jadi merasakan kegoblokan saya selama ini. Di tulisan profesor tersebut begitu banyak rujukan buku tingkat tinggi yang sama sekali baru saya tahu. Jangankan melihat bukunya, mendengar saja saya belum pernah.

Waduh, apa-apaan saya ini. Padahal buku saya terhitung banyak di rumah loh. Saya ini ‘gilbuk’  alias gila buku. Isi rumah saya harta paling berharga hanya buku, begitu saya kerap sampaikan setiap ada teman yang main ke rumah. (Maaf, pamer buku ‘lebih keren’ daripada fitnah).

Verified by MonsterInsights