fbpx

NAPAK TILAS NU DI JATI DARI MASA KE MASA

Pesantren, menurut banyak orang adalah bengkel akhlak. Seperti halnya bengkel mobil yang tak pernah menolak membetulkan mobil yang rusak, pesantren juga tidak pernah menolak santri yang pengen mondok. Tidak peduli, seberapa rusaknya akhlak santri tersebut. Semuanya diterima, semuanya mendapatkan pengajaran yang sama. Meski demikian, tidak boleh dinafikan adanya pesantren yang menerapkan seleksi kepada calon santrinya. Tapi bukan itu yang ingin saya bicarakan di sini.
Karjo.

BLORANEWS – Kecamatan Jati, yang didominasi oleh kaum abangan, ternyata memiliki mata rantai sejarah kepengurusan Nahdlatul Ulama (NU) yang terus berkesinambungan sejak era ’60-an hingga sekarang. Setiap masa dan periode kepemimpinan memiliki rekam jejak dan gaya kepemimpinan yang unik dan menarik untuk dikaji generasi muda masa kini.

Menurut sejumlah sumber, kepengurusan MWC NU Kecamatan Jati terdeteksi paling awal di era Kyai Khusni, yakni pada dekade ’60-an. Penulis belum mendapatkan informasi tentang Rois Syuriah pada masa itu. Sedikit catatan tentang kepemimpinan Kyai Khusni diantaranya dimulainya pendataan warga NU, yang dulu merupakan pendataan untuk kepentingan kepartaian, di wilayah Kecamatan Jati.

Usai kepemimpinan Kyai Khusni, dilanjutkan dengan kepemimpinan Kyai Ngalim sebagai Ketua Tanfidziyah berpasangan dengan Kyai Syamhudi sebagai Rois Syuriah. Kyai Ngalim menjabat sebagai Ketua Tanfidziyah NU Jati selama tiga periode, atau lebih tepatnya kepemimpinan ini sempat melakukan reorganisasi hingga tiga kali. Pada periode kedua, Kyai Ngalim berpasangan dengan Kyai Muzayin sebagai Rois Syuriah. Pada akhir kepemimpinannya di NU Jati, Kyai Ngalim kembali menggandeng Kyai Syamhudi sebagai Rois Syuriah.

Salah satu prestasi besar kepemimpinan Kyai Ngalim adalah keberhasilannya menggandeng nahdliyin muda saat itu untuk bergabung di kepengurusan, sembari mengurusi badan otonom. Pemberdayaan tenaga muda ini terbilang prestasi lantaran saat itu tidak banyak kaum muda yang tertarik masuk ke NU, apalagi berkiprah sebagai pengurus. Salah satu tenaga muda yang direkrutnya adalah Tasrifin yang saat itu merupakan Ketua PAC GP Ansor Kecamatan Jati.

Kepemimpinan NU Jati kemudian diteruskan oleh dr Zarkasyi dengan tetap menggandeng Kyai Syamhudi sebagai Rois Syuriah. Tongkat estafet NU di Kecamatan Jati kemudian diserahkan kepada Kyai Mulyadi yang belakangan sempat menjadi Kepala Desa Pengkoljagong. Pada masa Kyai Mulyadi, jabatan Rois Syuriah tetap dipegang Kyai Syamhudi. Mata rantai kepemimpinan NU kemudian beralih ke Kyai Muzayin dengan Kyai Syamhudi tetap di jabatan Rois Syuriah.

Salah satu pencapaian Kyai Muzayin adalah makin kuatnya penerapan amaliyah NU di tingkat pengurus hingga ke tingkat jamaah akar rumput. Tidak hanya amaliyah ubudiyah, melainkan juga amaliyah jam’iyah seperti adanya tradisi khutbah iftitah yang dibawakan oleh Rois Syuriah di awal rapat-rapat resmi NU. Sayangnya, tradisi ini mulai lenyap hari ini sehingga tidak banyak generasi muda nahdliyin yang menyaksikan khutbah-khutbah iftitah tersebut.

Kepemimpinan NU Jati kemudian diteruskan Kyai Parsidi dan Kyai Syamhudi sebagai Rois Syuriah. Figur ini terbilang unik lantaran latar belakangnya sebagai politisi lokal dan komunikator yang handal. Bisa ditebak, salah satu ‘barokah’ yang dia dapat saat memimpin NU adalah direbutnya jabatan sebagai anggota DPRD Kabupaten Blora oleh sosok ini. Usai memimpin NU, Kyai Parsidi masih tetap aktif di partai politik hingga saat ini.

Akhirnya, sampailah kita pada periode kepemimpinan Kyai Sugino yang berpasangan dengan Kyai Ahmad Rifai sebagai Rois Syuriah. Kepemimpinan periode ini bisa dibilang paling stabil dalam hal pembinaan jamaah dan pengelolaan program. Berdirinya gedung NU Jati yang megah dan representatif adalah salah satu bukti kinerja kepengurusan. Belakangan, kepengurusan ini tengah berkomitmen menata kepengurusan lembaga dan badan otonom, disamping menjalankan program kemandirian berupa sosialisasi kaleng Lazisnu.

Benarlah kata orang bijak, setiap masa ada pemimpinnya dan setiap pemimpin ada masanya. Karakteristik kepemimpinan NU yang berorientasi pada penegakan nilai-nilai Ahlu Sunnah wal Jamaah ada kalanya terlihat dan terasa sangat jelas, ada kalanya samar-samar, bahkan ada pula yang mungkin tidak terasa sama sekali. Jaman berubah seiring manusianya, demikian pula dengan NU dan karakteristik kepemimpinannya.

*Tentang penulis:* Karjo adalah Dosen PGMI di STAI Al Muhammad Cepu, dan Ketua Persatuan Guru NU (Pergunu) Kecamatan Jati.

*Opini di atas merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab Bloranews.com

Verified by MonsterInsights