Lima bulan lagi tahapan pendaftaran calon bupati dibuka, tapi masih sepi baliho calon bupati di Blora. Gak ada yang berani maju?
Banyak hal yang mungkin bikin calon bupati masih ragu, kayak keraguan diri, kurangnya dukungan, atau pertimbangan strategis. Tapi, ada juga yang bilang kalo sistem politik dan budaya demokrasi di Indonesia yang masih berkembang juga jadi salah satu faktornya.
Di balik fenomena kandidat bupati yang sepi ada sejumlah faktor yang mungkin menjadi pertimbangan, antara lain. Ketakutan akan persaingan, Perebutan kursi bupati Blora diprediksi bakal sengit. Banyak nama besar yang diprediksi bakal maju, dan beberapa calon berpotensi memiliki modal politik dan finansial yang kuat. Hal ini mungkin membuat calon lain ragu untuk maju karena khawatir kalah, Situasi ekonomi yang masih belum stabil dan pertimbangan besarnya pendanaan, mungkin membuat calon bupati ragu untuk maju karena khawatir kesulitan mendapatkan dana kampanye. Dan Perebutan kekuasaan di internal partai politik juga bisa menjadi faktor yang menghambat pencalonan. Calon bupati mungkin masih menunggu kejelasan tentang dukungan dari partainya.
Di tengah sepinya calon bupati, malah ada fenomena baru: munculnya “makelar politik”. Mereka ini bukan calon bupati, tapi perannya kayak jembatan antara calon bupati dengan partai politik, merancang strategi kampanye, dan menggalang dukungan.
Makelar politik bisa membantu calon bupati yang belum memiliki jaringan atau pengalaman politik yang kuat untuk mendapatkan akses ke partai politik untuk mendapatkan rekomendasi. Makelar politik bisa membantu calon bupati untuk melewati proses pencalonan yang rumit dan kompleks, terutama bagi calon yang masih baru dalam dunia politik.
Namun, keberadaan makelar politik juga memicu kekhawatiran. Dikhawatirkan mereka akan menggunakan pengaruhnya untuk meloloskan calon yang tidak kompeten demi kepentingan pribadi atau kelompok. Makelar politik juga berpotensi terlibat dalam praktik politik uang, di mana mereka menawarkan sejumlah uang kepada pemilih untuk memilih calon tertentu.
Masyarakat Blora harus aktif dalam pilkada dan memilih kandidat berdasarkan visi dan misi mereka, bukan karena pengaruh makelar politik. Penting untuk meningkatkan edukasi politik kepada masyarakat agar mereka lebih memahami bagaimana memilih pemimpin yang berkualitas dan Perlu ada penegakan aturan yang tegas untuk mencegah praktik politik uang dan manipulasi dalam pilkada.
Praktik politik uang dalam pilkada juga sudah sering terjadi di Indonesia. Pada pilkada tahun 2020, misalnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat ada 107 kasus dugaan politik uang.
Fenomena makelar politik dalam pilkada Blora menghadirkan kompleksitas baru dalam lanskap politik lokal dan memicu pertanyaan tentang dampaknya terhadap demokrasi. Diperlukan upaya kolektif untuk memastikan bahwa Pilkada di Blora berjalan dengan bertanggung jawab dan menghasilkan pemimpin yang cakap dan berintegritas.
Mari kita jadikan pilkada Blora sebagai ajang untuk memilih pemimpin terbaik, bukan sekedar pertarungan kepentingan personal!
Tentang penulis: Sodikin adalah mantan Pengurus PC PMII Kabupaten Blora yang saat ini aktif mengelola dan menulis di polral Media Online.
*Opini di atas merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab Bloranews.com.