fbpx
OPINI  

ETIKA KOLONIAL DAN SAMINISME

Ahli hukum Belanda dan tokoh politik etis, Conrad Theodore van Deventer
Ahli hukum Belanda dan tokoh politik etis, Conrad Theodore van Deventer

Pada tahun 1900 Liberalisme adalah kredo yang ketinggalan zaman. Namun kegagalan itu, tidak berbeda seperti gagalnya Cultur Stelsel. Sama seperti Cultur Stelsel, yang dibuat oleh seorang jenius Van den Bosch untuk memenuhi kebutuhan Kolonial di tahun 1830, dihapus oleh kekuatan yang disebutnya ada, begitu pula dengan sistem Liberal, berasal dari kebutuhan di tahun 1870. Sistem ini membebaskan kekuatan, moral dan material, sehingga menciptakan dunia Kolonial baru, yang penuh dengan masalah yang sebenarnya tidak mampu diselesaikan oleh prinsip-prinsip Liberal.

 

Ahli hukum Belanda dan tokoh politik etis, Conrad Theodore van Deventer
Ahli hukum Belanda dan tokoh politik etis, Conrad Theodore van Deventer

 

Adalah Brooshooft, ia tidak pernah menonjol seperti tokoh Van Deventer dan Van Kol, dan sebagian besar pekerjaan dijalaninya sebagai penulis dan editor di Jawa. Tetapi pada tahun 1901 ia dikenal masyarakat luas melalui sebuah brosur berjudul “Tren Etis dalam Kebijakan Kolonial”. Selama lebih dari seratus tahun, katanya, cahaya sinar matahari etis (ethische zonnetje) telah berjuang melalui pekatnya awan keegoisan. Dahulu telah lama tertunda, dan akhirnya mulai menerangi kebijakan Kolonial.

Sejauh ini Pemerintah Kolonial Belanda telah mengambil dua puluh lima persen dari pendapatan orang Jawa, tetapi tidak melakukan tindakan apapun sebagai imbalan, adalah aman jika dikata, mereka seperti dipaksa masuk ke dalam kolam di mana jutaan orang di Barat berjuang dari tenggelam karena air sudah sebatas leher. Liberalisme dengan sombongnya membiarkan orang untuk bebas, tetapi alasan paling mendasar untuk harus ditinggalkan sendirian adalah karena kemalasan dan keengganan untuk mengeluarkan uang.

Atas nama kebebasan, para penanam modal telah merebut semua lahan terbaik; langkah-langkah diambil, yang seharusnya untuk perlindungan rakyat yang bekerja, dapat dikatakan hanyalah untuk keamanan dari penanam modal sendiri.

Penderitaan penduduk pribumi dibawa ke pabrik-pabrik, sehingga individu mengalami demoralisasi dan kehidupan sosial tidak menjadi teratur. Modal mengkhianati pengaruh baiknya di mana-mana: dalam pengadaan tanah untuk pekebun, dan dalam hukum tenaga kerja dan hukum pertambangan; dalam reorganisasi aparat Sipil, dengan lebih banyak gaji untuk pegawai Eropa dan lebih sedikit untuk pegawai pribumi, dan di pengadilan juga di kepolisian; sementara itu tidak dilakukan sesuatu untuk penduduk pribumi.

Maka dituntut prinsip etika dalam upaya untuk membangun kesejahteraan moral dan material, kedekatan kontrol terhadap pemerintah desa, dan juga desentralisasi. Ini adalah inti dari brosur (pamflet kecil) yang agak tidak penting, tetapi berdampak besar, yaitu kata kunci topik : desentralisasi, efisiensi dan kesejahteraan. Juga paling luar biasa karena telah memberi nama sebuah kecenderungan baru kebijakan “etis” Kolonial.

“Politik etis” ini diatas kertas dilakukan untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan penduduk pribumi, dan untuk memperbaiki banyak ketidakadilan yang dihasilkan dari pemerintahan Kolonial. Termasuk ketentuan dari bank kredit desa, kas desa, pengadaan sapi jantan dari Bengal, balai desa, sekolah desa, perbaikan perumahan, penjaga malam, guru sekolah dll.

Namun biaya layanan ini terpenuhi oleh sebagian besar sumbangan tanah desa, iuran berupa uang (pajak) dan tenaga kerja oleh penduduk pribumi. Karenanya, manfaat ketentuan ini menjadi sangat tidak jelas.

Faktor ekonomi menjadi penting dan  sering terlalu dibicarakan. Tetapi, dalam kasus gerakan Samin, paling tidak ada dua faktor ekonomi yang patut dipertimbangkan.

Pertama, penciptaan Hout-vesterijen, atau hutan yang dikhususkan untuk eksploitasi pemerintah Belanda, yang merampas kaum petani dari sumber daya penting untuk kebutuhan hidup sehari-harinya. Secara khusus, wilayah Samin memiliki persentase tanah tertinggi di bawah hutan jati Blora. Karena itu, kaum petani di daerah ini akan melakukan tindakan perlawanan yang secara proporsional lebih terpengaruh oleh tindakan pembatasan ini.

Faktor kedua, terkait dengan ekonomi pertanian, adalah jumlah sawah kering di daerah Blora, rendahnya produksi akibat dari ketidaksuburan tanah dan kurangnya fasilitas irigasi.  Penerapan kaku ‘politik etis’, terlepas dari beragamnya ekonomi lokal dan keadaan lingkungan, menyebabkan banyak kesulitan khususnya bagi orang Jawa di daerah Samin. Bisa disebutkan, konsekwensi dari persentase sawah yang kecil dan  kurangnya partikelir pertanian, ditambah dengan tidak adanya ‘perkebunan’ gula Belanda, yang biasanya mempekerjakan banyak tenaga kerja Jawa, berarti juga rendahnya lapangan kerja di desa dan kurangnya kesempatan untuk mendapatkan uang.

‘Politik etis’ Belanda, dan aturan-aturan lain memperburuk situasi ini secara bertahap mengganti sistem tradisional dengan perpajakan dalam rupa uang, penyitaan sebagian tanah desa, juga hasil berasnya, untuk membantu membiayai kas desa.

Namun bagaimanapun, beban ekonomi ini gagal menjelaskan, mengapa banyak petani miskin tidak bergabung dengan gerakan Samin?

Pentingnya status yang terkait dengan kepemilikan tanah dan posisi penting petani di masyarakat adalah faktor kunci dalam pertumbuhan gerakan Samin. Ini merupakan faktor-faktor kunci tersendiri, tercermin dan diperkuat oleh sistem kepercayaan “Agama Adam” Samin, dan sebuah mantra ajaib Bumi, Aji, Jaman.

Agama Samin dapat dilihat dalam konteks kepercayaan kultural Jawa, yang berpusat di sekitar aktivitas pertanian.  Memang, Samin menekankan kesuburan, gambaran seksual dan kekuatan magis yang melekat di dalamnya, mengingatkan pada kultus kesuburan pertanian tradisional Jawa. Yaitu keyakinan Jawa kuno tentang persatuan suami-istri antara Angkasa dan Bumi, dari persatuan ini datanglah semua makhluk hidup. Keyakinan ini juga menekankan posisi penting petani sebagai pelaku dalam ‘perkawinan’; adalah dengan mengolah tanah.

Samin juga menganggap ikatan pernikahan sebagai sesuatu yang sakral. Alasannya menjadi jelas ketika disadari bahwa dalam konteks kepercayaan lama, bahwa ikatan itu adalah ekspresi simbolis tentang penyatuan antara Langit dan Bumi pada tingkat makrokosmik, selaras dengan persatuan antara suami dan istri pada tingkat mikrokosmik.

Cukup menarik memang, untuk melihat Saminisme terus dipatuhi penganutnya bahkan ketika aktivitas Sarekat Islam menembus wilayahnya. Meskipun orang mungkin mengharapkan perpecahan antara Samin yang samar-samar dan para pemimpin lokal S.I yang sering militan, tetapi tidak ada konfrontasi seperti itu yang muncul di halaman laporan resmi, terlepas dari kewaspadaan Belanda yang berlipat ganda pada periode itu.

Kolonial sama-sama berharap Saminisme akan kalah jika dihadapkan dengan sebuah gerakan yang terorganisir secara regional, jauh lebih modern. Tetapi tampaknya ia berhasil mempertahankannya sendiri, dan tetap seperti semula sejak awal: anarkisme suhu rendah, halus seperti mencapai kembali ke Jawa pramodern-pra-Belanda, pra-Islam-Jawa.

Tentang penulis: Totok Supriyanto adalah pemerhati sejarah dan budaya

*Opini di atas merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab Bloranews.com

Verified by MonsterInsights