OPINI  

MENIMBANG ULANG PROSES PEMBENTUKAN KOPERASI DESA MERAH PUTIH

Pemerintah melalui Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2025 mencanangkan pembentukan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih (Kopdes Merah Putih) di seluruh desa dan kelurahan di Indonesia. Langkah ini tentu patut diapresiasi dari sisi visi, yakni membangun kemandirian ekonomi berbasis gotong royong. Namun demikian, cara pelaksanaannya di lapangan menimbulkan sejumlah pertanyaan serius, terutama dari aspek prinsip koperasi, tata kelola kelembagaan, dan ketepatan pendekatan kebijakan.

Antara Semangat dan Realitas

Sebagai bentuk badan usaha kolektif, koperasi pada dasarnya dibangun atas asas sukarela, partisipatif, dan demokratis. Prinsip koperasi adalah “dari anggota, oleh anggota, dan untuk anggota”. Maka, inisiasi pembentukan koperasi yang dilakukan secara top-down melalui instruksi pemerintah pusat ke desa-desa menimbulkan ironi tersendiri. Banyak desa tidak menginisiasi koperasi karena kebutuhan warganya, melainkan karena mengikuti arahan administratif. Hal ini berpotensi menyalahi substansi koperasi sebagai organisasi yang tumbuh dari kesadaran kolektif anggotanya.

Di banyak wilayah, pembentukan Kopdes Merah Putih berlangsung sangat cepat, bahkan dalam tempo kurang dari tiga bulan. Hal ini mendorong praktik seremonial tanpa pendalaman substansi: musyawarah desa khusus (musdesus) dilakukan sekadar untuk memenuhi prosedur, dari sosialisasi hingga pembentukan AD/ART dan pengurus dalam satu forum. Tidak ada ruang memadai untuk menjaring aspirasi, membangun pemahaman, apalagi memetakan potensi riil usaha koperasi sesuai kebutuhan desa.

Problematika Tata Kelola

Masalah lainnya muncul pada aspek tata kelola kelembagaan. Pengurus koperasi dalam banyak kasus ditunjuk dengan pendekatan pragmatis. Sering kali unsur perangkat desa atau kerabat dekat kepala desa terlibat langsung, meskipun regulasi koperasi justru melarang keterlibatan tersebut untuk menjaga independensi kelembagaan. Akibatnya, kepengurusan cenderung bersifat formalitas dan tidak selalu mencerminkan kapasitas manajerial maupun integritas yang dibutuhkan dalam pengelolaan usaha bersama.

Selain itu, terdapat persoalan mendasar mengenai urutan pembentukan struktur koperasi. Dalam prinsip koperasi, anggota merupakan entitas utama, dan dari anggota itulah dipilih pengurus. Namun, pada praktik Kopdes Merah Putih, yang terjadi justru sebaliknya: kepengurusan dibentuk terlebih dahulu sebelum keanggotaan terverifikasi. Hal ini menimbulkan ketidaksesuaian mendasar terhadap prinsip demokrasi koperasi.

Tumpang Tindih dan Ketidakjelasan Pendanaan

Program ini juga berisiko tumpang tindih dengan keberadaan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang telah lebih dahulu eksis dan beroperasi di hampir seluruh desa di Indonesia. Ketiadaan regulasi yang mengatur relasi dan sinergi antara Kopdes Merah Putih dan BUMDes berpotensi menimbulkan fragmentasi pengelolaan ekonomi desa. Alih-alih memperkuat kelembagaan ekonomi rakyat, justru bisa terjadi duplikasi fungsi dan perebutan sumber daya, baik sumber daya manusia, aset, maupun dana desa.

Ketidakjelasan juga tampak dalam hal pendanaan. Pemerintah menyebut bahwa program ini tidak menggunakan dana desa, namun belum menjelaskan secara transparan apakah modal awal berasal dari APBN, skema pembiayaan kredit, atau sumber lain. Bagi masyarakat desa, ini bukan perkara kecil. Ketidakpastian sumber dana dapat menimbulkan keraguan dan menurunkan partisipasi warga dalam koperasi. Padahal, keterbukaan informasi dan kepastian pendanaan merupakan syarat penting agar sebuah koperasi dapat tumbuh secara sehat dan berkelanjutan.

Perlu Reorientasi Pendekatan

Melihat berbagai dinamika tersebut, perlu kiranya dilakukan reorientasi pendekatan dalam pelaksanaan program Kopdes Merah Putih. Pemerintah seharusnya tidak memaksakan pembentukan koperasi sebagai proyek administratif yang harus selesai dalam tenggat waktu tertentu, apalagi hanya untuk dilaunching secara seremonial pada Hari Koperasi. Esensi koperasi bukan pada peresmian, melainkan pada keberfungsian dan keberlanjutan peranannya dalam meningkatkan kesejahteraan anggotanya.

Dibutuhkan waktu, dialog, dan fasilitasi yang cukup agar koperasi benar-benar tumbuh sebagai entitas usaha milik anggota. Kementerian/lembaga terkait sebaiknya memfokuskan diri pada penguatan kapasitas SDM, peningkatan literasi koperasi, dan penyediaan platform sinergi dengan lembaga ekonomi desa yang sudah ada. Proses bottom-up harus dikembalikan sebagai roh pembentukan koperasi. Pemerintah dapat berperan sebagai fasilitator dan pendamping, bukan sebagai penentu.

Penutup

Saya percaya bahwa koperasi adalah model ekonomi yang paling cocok bagi masyarakat Indonesia, terutama di pedesaan. Namun keberhasilan koperasi tidak ditentukan oleh seberapa cepat ia dibentuk, melainkan seberapa besar partisipasi dan kesadaran anggotanya untuk menjadikan koperasi sebagai alat perjuangan bersama. Sudah saatnya pemerintah mengedepankan kualitas daripada kuantitas, proses daripada pencitraan. Karena koperasi sejatinya bukan proyek, melainkan gerakan.

Tentang Penulis: Dwi Giatno, Ketua Umum Pengurus Cabang Ikatan Alumni PMII Kabupaten Blora dan Sekretaris Lakpesdam PCNU Blora.

*Opini di atas merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab Bloranews.com.