fbpx
OPINI  

PEREMPUAN DENGAN GANGGUAN JIWA RAWAN PELECEHAN SEKSUAL

Opini
Ilustrasi

BLORANEWS – Orang yang mengalami gangguan mental dan gangguan jiwa memiliki karakteristik susah diatur, tidak seperti kebanyakan orang pada umumnya. Terdapat banyak sebab orang mengalami gangguan jiwa. Ada yang mengalami stres yang berkepanjangan sehingga kehidupannya penuh dengan impian atau bahkan yang di fikiran mereka adalah sesuatu yang tidak mungkin terwujud. Oleh karena itu dalam pekerjaan formal atau non formal ( berhubungan dengan publik) kesehatan jasmani dan rohani merupakan satu kesatuan yang utuh apabila kita hendak melamar pekerjaan.

Meski dalam kondisi gangguan jiwa, orang yang demikian masih diberikan kesehatan fisik serta kesehatan reproduksi secara normal. Sehingga jarang kita temukan orang yang seperti ini dengan kondisi sakit, kecuali dia mengalami kecelakaan. Perempuan yang dikatakan gangguan jiwa, juga bisa hamil apabila ada seseorang yang menghamili. Kadang ada laki-laki yang nekad menyalurkan hasrat sexnya kepada perempuan itu, karena kepepet. Dari pada boking PSK, mending untuk kebutuhan yang lain. Yang menjadi masalah, ketika perempuan seperti ini hamil, dan tidak ketahuan siapa yang selama ini menghamili dirinya.

Dari keterangan salah satu anggota DPRD Prov. Jateng Fraksi PDIP Bu Sulistyorini, yang kebetulan duduk di Komisi A, Beliau mendapatkan informasi bahwasannya terdapat korban perempuan dengan gangguan jiwa mengalami pelecehan sexual, bahkan sampai terjadi perkosaan. Hal inilah yang lantas menjadi PR kita bersama untuk memecahkan masalah yang tidak ringan.

Apalagi kalau kejadian ini terjadi di kota besar. Perempuan dengan gangguan jiwa yang tinggal di kota, kebanyakan tidak punya tempat tinggal yang layak. Mereka tinggal di bawah jembatan, di emperan toko serta ruang-ruang tak berpenghuni yang bisa dijadikan tempat berteduh. Idealnya ini menjadi tanggung jawab pemerintah untuk menertibkan orang dengan gangguan jiwa, tuna wiswa (gelandangan), ataupun orang yang dianggap sampah masyarakat. Sehingga hidup mereka bisa tertata lebih rapi.

Ketika kita bicara masalah pelecehan sexual yang korbannya adalah perempuan dengan gangguan jiwa, sebenarnya tidak ada payung hukum yang mampu melindungi perempuan dengan status tersebut. Karena UU TPKS di peruntukan pada pelaku dengan korban yang normal, dan korban merasa dirugikan dengan kasus tersebut. Dengan berlakunya payung hukum yang belum begitu jelas, membuat kaum minoritas (Tuna Laras/gangguan jiwa) jarang mendapat penanganan dengan baik. Sebenarnya ini kasus yang unik tapi sudah banyak terjadi di ibu kota, tetapi kita masyarakat awam belum begitu jeli menangani kasus seperti ini.

Meskipun pelecehan sexual ini marak terjadi, dikhawatirkan berakhir dengan kehamilan. Sedangkan kita semua tau, bahwasannya perempuan dengan gangguan jiwa untuk mengurus dirinya sendiri tidak bisa, apalagi sampai pengurus anaknya sendiri, tentu akan sangat merepotkan. Belum ketika anaknya normal dan mampu berfikir akan keberadaan ibunya yang tidak normal.

Mungkin dulu dalam penyusunan RUU TPKS, sampling dari dampak korban si pelaku, salah satunya perempuan dengan gangguan jiwa tidak masuk kriteria wacana yang di gembar-gemborkan. Jadi meskipun korbannya adalah perempuan, tetap saja tidak masuk kriteria lantaran perempuan tersebut penyandang gangguan jiwa.

Pada ahirnya dinas sosial lah yang menjadi acuan untuk penanganan kasus yang bersifat kesejahteraan masyarakat. Biasanya urusan penertiban dibantu oleh Satpol PP untuk membereskan mereka yang melaporkan.

Karena di masyarakat kita sudah tidak asing lagi dengan orang dengan gangguan jiwa (perempuan) sebaiknya pihak keluarga lebih savety terhadap keamanan anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa. Disini berbahaya apabila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Untuk penanganan secara medis, pasien bisa di rujuk ke RS yang secara khusus bisa menangani penyakit mental.

Yang demikian ini diperlukan payung hukum yang pas untuk melindungi kelompok rentan terutama pada perempuan dengan gangguan jiwa. Karena selama ini payung hukum yang ada tidak mencakup perlindungan pada kelompok rentan.

Tentang penulis: Siti Lestari adalah mantan ketua PC PMII Kabupaten Blora yang saat ini aktif mengelola Lembaga Pendampingan dan Pemberdayaan (Perempuan) Kinasih.

*Opini di atas merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab Bloranews.com.

Verified by MonsterInsights