fbpx

TONGGAK SEJARAH PENYEBARAN ISLAM DI NGLIRON

Masjid tua di Desa Ngliron.

Blora, BLORANEWS – Sekitar dekade 60-an, terdapat salah satu keluarga yang bermukim di hutan belantara wilayah Desa Ngliron. Keluarga itu mulanya berasal dari Kabupaten Rembang. Tujuan bermukim di hutan tersebut ialah untuk mencari sumber kehidupan keluarga. Adapun pekerjaan yang dilakoni ialah bertani menggarap lahan di sekitar hutan Desa Ngliron.

Berdasarkan tutur sejarah, salah satu anggota keluarga tersebut terkenal rajin beribadah dan sering mengajak masyarakat Ngliron beribadah dan belajar mengaji. Oleh masyarakat Ngliron, ia dikenal dengan sebutan Simbah Jaiz. Karena kondisi pada saat itu masyarakat sekitar masih awam mengenai agama, Mbah Jaiz (sapaan populernya) adalah satu-satunya guru agama di lingkungan Ngliron. Pada waktu itu Mbah Jaiz masih tinggal di gubug sebelum akhirnya Kepala Desa Ngliron mengajak keluarga Mbah Jaiz untuk pindah dan bermukim di kampung untuk mengajarkan agama Islam di wilayah tersebut.

Adapun orang kampung yang awal mendekati Mbah Jaiz untuk belajar mengaji di antaranya, Sariyo, Yusuf,Yadin, Yono, Dimyati, dan satu murid lagi yang tidak terlacak namanya.

Dari ke enam santrinya itu (murid Simbah Jaiz) salah satu dari mereka memiliki gagasan untuk membuat langgar (mushola), adapun langgar (mushola) pertama kali dibuat dari bekas lumbung padi milik salah seorang pamong Ngliron. Langgar tersebut didirikan kurang lebih pada tahun 61-an, letaknya berada di sebelah utara balai desa atau sekarang kurang lebih 40 meter terdapat di RT 3. Setelah berbulan-bulan berjalan dan menggelar pengajian agama, namun santri Mbah Jaiz tidak mengalami peningkatan dalam segi jumlah, dan pada akhirnya mereka sepakat agar langgar dipindah ke selatan dari balai desa kurang lebih 20 meter, setelah mushola dipindah bertambah satu tokoh agama dari Kecamatan Bogorejo bernama Simbah Latif yang ikut menghidupi kegiatan keagamaan di wilayah Ngliron.

Setibanya Simbah Latif di Ngliron murid Mbah Jaiz berkurang dikarenakan mondok di sebuah pesantren yang terletak di Bogorejo. Setelah bertahun-tahun berjalan, kondisi fisik  Mbah Jaiz semakin menurun dan bertambah tua, hingga akhirnya langgar mulai diserahkan kepada Mbah Latif untuk mengambil alih kegiatan mengajar ngaji di daerah tersebut, yang pada akhirnya terjadi kesepakatan langgar dipindah lagi di tempat tinggal Mbah Latif dikarenakan Mbah Latif memperoleh istri dari penduduk asli Dukuh Ngliron.

Kemudian di tempat Mbah Latif lambat laun mulai bertambah santrinya, yang mengakibatkan langgar tidak mencukupi untuk prasarana kegiatn agama, sehingga terjadi musyawarah yang menghasilkan langgar dipindah lagi di sebidang lahan miliik Mbah Sariyo. Di mana pada saat itu Mbah Sariyo membeli rumah serta tanahnya untuk digunakan sebagai langgar. Saat itu kondisi rumah yang dibeli Mbah Sariyo berdinding kulit pohon jati, setelah beberapa bulan terjadi tragedi pengiriman pohon oleh Mbah Banjir (istilah orang terdahulu), adapun istilah dari Mbah Banjir sendiri memiliki arti di mana ada pohon jati besar hanyut terbawa arus sungai dan berhenti tepat di depan mushola tersebut, yang mana pada saat itu lokasi tanah yang didirikan mushola dekat dengan sungai maka diambillah kayu tersebut untuk dijadikan dinding dan lantai mushola. Untuk langgar lama dijadikan tempat mengaji perempuan dan mushola baru dijadikan mengaji laki-laki pada masa itu.

Kondisi pada saat itu belum ada masjid yang mana langgar baru dijadikan tempat menggelar ibadah Sholat Jum’at. Seiring berjalannya waktu terjadi benturan antara golongan PKI dengan golongan Muslim Dukuh Ngliron, karena PKI tersebut tidak menyukai Islam berkembang pesat di Desa Ngliron. Sehingga terjadilah perang antara golongan Ansor dengan simpatisan PKI, akan tetapi PKI tidak berani menampakkan diri di tempat yang ditentukan. Sehingga terjadi penculikan PKI oleh golongan Ansor, yang merupakan penugasan langsung pemerintah kala itu. Sehingga masyarakat Muslim di Desa Ngliron terhindar dari gangguan orang-orang PKI pada masa itu.

Pada tahun 70-an, salah satu santri Mbah Jaiz pulang ketanah kelahiran, murid itu bernama Dimyati. Ia kemudian mewakafkan tanahnya untuk perkembangan agama di sekitar Ngliron. Sesuai kesepakatan bersama akhirnya Langgar Gede (mushola dengan ukuran yang lebih besar) dipindah dan dirubah menjadi masjid di tanah wakaf tersebut. Hingga saat ini masjid tersebut masih berdiri untuk dijadikan sarana utama masyarakat muslim Ngliron untuk mengaji dan beribadah.

Tentang penulis: Arfi adalah salah satu mahasiswa aktif IAI Al-Muhammad Cepu yang kini juga menjabat sebagai Sekretaris Jenderal (Sekjend) PMII Komisariat Sunan Pojok Blora.

*Opini di atas merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab Bloranews.com.

Verified by MonsterInsights